SENJA
DI BELAKANG KELAS
“Ren,
tulisan ini kuukir dengan keratan pisau, kutorehkan pada batang pohon itu agar
kelak kita bisa bernostalgia pada penderitaan sesaat ini.”
Kudapati mentari akan segera beradu ke peraduannya. Tubuh ini tak ingin
terempas oleh hilangnya senja, tatkala suara-suara hewan malam mulai berisik,
dan kelelawar-kelelawar hendak bersiap untuk mengitari antero hutan. Hutan
memang menyimpan sejuta kisah, kisah yang tak kiranya harus patuh pada putaran
waktu. Senja selalu menjadi puing kelelahan, tempat berlindung di balik segala
keletihan.
Aku masih ingat, kala itu aku berjanji di satu waktu untuk
menggenggam tangannya, kemudian untuk kubawa
menyusuri jalan setapak itu. Agar kita akrab
dengan situasi sulit, karena aku tahu kau tidak akan kuat menghadapi getirnya
hidup ini seorang diri.
“Hai Rampies, jika kita akan berjalan, adakah ujung jalan ini?”
“Sudahlah, jangan sesekali kau menoleh ke belakang, karena sungguh
kita tak pernah bersahabat dengan cahaya, kita akan selalu berjalan pada kegelapan.”
Tabir sunyi menghampiri malam itu, di tengah hutan kami bersama
mengarungi malam walaupun dengan tubuh penuh luka. Luka yang tersayat oleh
ranting-ranting tajam, namun barangkali perih ini tak seberapa jika dibanding dengan
kondisi yang aku alami saat ini. Bajuku perlahan habis karena selalu kusayat
untuk menutupi luka sahabatku Renita. Dia masih terlalu belia untuk menghadapi
penderitaan ini. Umur kami terpaut satu tahun, usianya baru 16 tahun. Kukira
kesulitan ini tak berujung, sebelum kami bisa menembus ujung hutan ini.
Komplotan asing itu rupanya masih mengintai kami. Dari
rombongan yang tersisa hanya aku dan Renita yang tersisa, akupun selalu
berpikir — dari kami siapakah yang akan bertahan, ataukah kita mampu menembus
hutan ini bersama. Belitan waktu tak bersahabat, kami tak pernah tahu kapan
siang atau malam. Hutan ini teramat rimba untuk kami, terlalu ramah untuk para pengintai
itu. Menurutku harimau lebih baik ketimbang mereka. Batang usia yang cukup
belum begitu bisa membuatku kuat. Rasanya ini gila, kami berada di tengah
sebuah hutan yang akupun tak tahu akan ujungnya.
Telah lama lama aku berada pada naungan kemunafikan. Sebenarnya
Renita selain sahabat, dia juga lebih dari sahabat. Ia adalah anak dari
sepupunya keponakan tiri dari pamanku. Sampai masalah itu menimpa keluargaku,
sebelumnya aku memilki segalanya. Aku tahu pekerjaan ayah adalah salah satu
orang penting di bagian pengadaan properti pada kantor-kantor dinas. Ya, bisa
dikatakan sebagai pemborong tender. Ayah Renita juga saudara dari ayah dan
ibuku, sampai kerabat semuanya dilibatkan dalam usaha ayah. Entah
mungkin karena ayah teringat pada wasiat almarhum kakek untuk selalu melibatkan
saudara dan kerabat jika ingin meraih sukses bersama.
Keluarga, kerabatku yang lain semuanya entah kemana. Apakah semua
telah berada di balik jeruji, ataukan sedang menikmati sunset di Bali. Aku tahu,
saat ayah membakar semua berkas-berkas yang tersimpan di semua sudut. Tak lama
setelah itu, ia segera sibuk menghubungi keluarga dan kerabat agar keluar dari
kota untuk pergi sejauh mungkin jika perlu ke luar negeri. Pada saat itu kedua
orang tuaku berhasil menutup kebusukan walau hanya sesaat. Satu yang aku tahu,
simpanan ayah si wanita karaoke itu sudah melarikan diri lebih awal, di dalam
tasnya berisi milyaran uang dan batangan emas. Rupanya wanita karaoke itu
menjadi alat untuk mengamankan harta keluargaku yang mungkin baru 30% saja. Selebihnya
berupa ratusan hektar tanah di berbagai daerah yang nilainya mencapai Triliun.
Aku memilih untuk berlari, di antara rindangnya pohon, suara
binatang dan kesunyian. Di anatara tanah-tanah itu terdapat jejak hewan – mungkin
saja babi hutan ataupun badak – tapi rasanya badak tidak mungkin hadir di hutan
ini. Yang selalu menghantui – sebuah ketakutan perjalanan kali ini, aku bersama
Renita diketemukan sudah membangkai menyatu dengan tanah. Ah, aku tak mau berlama-lama ada di sini, mungikin saja jika aku
berhasil keluar dari hutan ini, rasanya lega dan mungkin saja bisa mengantarkan
Renita pulang bersama sejuta pengalaman bertahan
hidup di hutan.
Seharusnya sekarang aku sedang berkumpul dengan teman-teman di
sekolah. Selain belajar, kita juga sering mengikuti sebuah klub kepenulisan di
sekolah. Aku sangat antusias sekali dengan bacaan sastra – terlebih aku amat
menyukai menulis juga. Sudah banyak novel yang aku selesaikan. Aku ingat,
bagaimana nasib buku-buku koleksiku yang tersusun rapi di antara lemari sudut
kamarku. Ah, entahlah jangankan untuk sekedar menginginkan bukuku, nasibku saja
aku tak tahu berakhir seperti apa.
Di sekolah sembari berdiskusi di depan kelas, dialasi spanduk
bekas, kami rutin berdiskusi mengkaji sastra. Sembari menunggu senja tenggelam di belakang kelas. Persis di belakang kelasku, senja senantiasa
turun ke peraduannya begitu nampak indah. Tidak
tanggung-tanggung, saking indahnya kami tak jarang mengabadikannya menjadi
sebuah tulisan, foto bahkan membuat rekaman video. Rangkaian warna jingga yang
menghiasi kelabunya langit. Oh... aku rindu masa-masa itu. Mungkin saat ini
sahabat-sahabatku sedang melakukan rutinitas itu, tanpa aku. Beruntungnya
mereka berasal dari keluarga bahagia, sederahana. Kadang aku mengeluh, mengapa
aku terlahir dari keluarga yang penuh dengan keserakahan. Aku tak tahu apakah
ayah masih ingat denganku atau tidak, sedangkan dia begitu sibuk sejak aku
kecil. Aku tidak merasakan kasih sayangnya. Bertemupun hanya satu bulan sekali,
mungkin dengan alasan itu pula aku disekolahkan di sekolah berasrama.
Aku seringkali iri melihat sahabat-sahabatku dikunjungi orangtuanya
satu minggu sekali, dua minggu sekali, sedangkan aku hanya bisa dihitung jari. Biasanya mama dan supir yang yang hanya menengok, itupun pada
malam hari saat semua siswa belajar malam. Ketika itu salah seorang dari
temanku bertanya. “Ram, aku belum
pernah melihat papamu kemari, memangnya sesibuk apakah dia?” Aku menjawab “Kata
mama, papa sibuk mengurusi proyek ke sana kemari.”
Aku sendiri bingung harus mengatakan apa, sejak itu aku merasa
biasa, karena aku memang tidak mengenal sosok ayah. Yang aku tahu, dia hanya rutin
mengirimi aku
uang yang nominalnya amat besar, bahkan melebihi kawan-kawanku. Tabunganku saja
kata bendahara sekolah paling besar jumlahnya. Ah, aku tidak bangga dengan itu
semua. Aku hanya ingin keutuhan keluarga, aku ingin hidup normal layaknya
sebuah keluarga. Aku bagaikan tanaman tandus – sepi dari sentuhan air segar.
Layaknya sebuah behtera yang tidak memilki ABK. Rasanya hampa hidup ini.
Senja di belakang kelas yang selalu aku rindukan. Sisa-sisa cahaya
yang memberi harapan sebelum gelap mencekam. Senja di belakang kelas yang tiap
kali akan tenggelam, kami selalu berharap bahwa esok hari akan memandangi senja
itu kembali. Keinginan yang sederhana memang. Dalam menikmati senja aku tahu
bagaimana Tuhan menciptakan keindahan bagi manusia sebagai pertanda keaagungannya.
Sesekali aku bertahan dengan hujatan-hujatan kegelapan. Dalam kegelapan
seringkali aku dapati kecemasan.
Seperti saat ini, kami berdua bukannya tidak ingin kembali ke
sekolah. Namun kami sendiri yang tidak ingin kembali. Bagiku sanksi sosial
lebih berat dari hanya sekedar melihat ayah terbelenggu di balik jeruji besi.
Aku akrab sekali dengan kegalauan. Masa depan yang sudah aku persiapkan
semuanya luluh lantah. Persis di lembaran-lembaran kertas itu, aku merangkai
kata-kata dengan balutan kesedihan. Namun inilah aku. Takdir membuktikan aku
terlahir dari keluarga bermaslah yang tak berujung.
Kelak, jika aku sudah hilang rasa truma. Aku akan kembali ke
sekolah. Mencoba menjadi kuat terlebih dahulu dengan belajar pada alam. Karena
alam sangatlah kuat. Alam yang kadang tak goyah
diterpa musim,
badai, angin hingga letusan gunung. Aku menanti saat aku dewasa, aku memilki
mimpi menjadi seorang guru. Menjadi guru aku bisa mendidik generasi bangsa, sungguh sebuah profesi yang mulia. Mengarahkan mereka pada hidup yang lurus –
membuktikan betapa kekuatan mimpi akan mengubah
segalanya.[]
Cerpen ini diikutsertakan dalam perlombaan
KPK teacher supercamp 2015.
Komentar
Posting Komentar