opinion
Pemikiran
R.A. Kartini dan Pendidikan Kaum Wanita
OLEH:
ASEP YANA YUSYAMA
Bukan saya latah untuk
membicarakan perjuangan R.A. Kartini, dan bukan juga untuk melangkahi
kewenangan wanita yang seharusnya menulis artikel ini. Namun sebagai orang yang
bergelut dalam dunia pendidikan, penulis ingin memberikan gambaran mengenai
sejarah pendidikan yang diusung oleh pahlawan wanita yaitu R.A Kartini. Sejak
kita SD tentunya sudah mengenal sosok yang satu ini. Selain pejuang untuk meningkatkan martabat wanita,
beliau juga dikenal sebagai pelopor hak pendidikan bagi kaum wanita.
Bayangkan jika dahulu
R.A. Kartini tidak memperjuangkan untuk meningkatkan harkat dan martabat wanita,
mungkin sekarang ini bangku-bangku sekolah hanya di isi oleh kaum lelaki saja. Alasannya,
karena mungkin lelaki identik dengan pemimpin keluarga, artinya pendidikan pun
harus ditempuh oleh lelaki, walaupu ketika politik etis (politik balas budi) diberlakukan
oleh belanda hanyalah untuk orang-orang yang mampu dan memilki darah kebangsawanan
dapat menikmati pendidikan. Oleh karena latar belakang itulah R.A. Kartini
memiki pemikiran yang mulia bahwa bagaimana caranya pendidikan dapat di nikmati
oleh wanita. Maklum saja, dahulu wanita seolah hanya dijadikan sebagai objek
lelaki saja, tanpa perlu mereka menikmati pendidikan layaknya laki-laki.
Paradigma yang berlaku saat itu ialah menganggap wanita hanya cukup berada di
kasur, sumur, dan dapur.
Latar belakang adanya
pemikiran bahwa pendidikan bagi kaum wanita harus ada ialah bermula saat R.A.
Kartini yang
mendapatkan pendidikan cukup tinggi pada masa Hindia-Belanda. Namun apa yang
didapatkannya di sekolah formal, tidak senasib dengan kaum wanita selain
dirinya yang sama sekali tidak mampu mendapatkan pendidikan. Walaupun cita-citanya
untuk sampai kuliah kedokteran tidak tercapai karena kendala ia harus menikah
karena dijodohkan oleh sang ayah. Ia dipersunting seorang raden dari rembang
bernama Adipati
Joyoningrat, akan tetapi rumah tangganya tidak diwarnai dengan
kepuasan batin. Ia tidak nyaman dengan kehidupan dalam rumah yang seolah
menjadikan dirinya sebagai wanita pingitan. Oleh sebab itu hatinya memberontak
bahwa sekaligus mewakili kaum wanita yang menurutnya hanya diperlakukan seolah sapi
perah saja, hingga pada akhirnya ia mampu memilki pemikiran yang sangat luar
biasa untuk memajukan kaum wanita secara menyeluruh.
Bisa kita pahami bahwa
mengapa R.A.Kartini yang seorang putri
dari Bupati Jepara bernama Raden Mas Adipati Sastrodiningrat dan cucu dari
Bupati Demak, Tjondronegoro memilki kepedulian tinggi terhadap nasib
wanita pribumi yang pada ketika itu tidak mampu mengenyam pendidikan sama
sekali. R.A. Kartini menginginkan kaum wanita pribumi agar cerdas dan memilki
pemikiran maju, karena hanya dengan pendidikan bisa membuat mindset seseorang berkembang
dan tidak terkukung dalam konservatif yang dapat membuat terbelakang dan bodoh.
Tetapi sayang, selama ini
kaum wanita di Indonesia sedikit keliru dengan arti dari emansipasi wanita.
Kekeliruan itu yang menjadikan pemahaman mengenai emansipasi hanya dipahami dalam
arti sempit saja, namun esensi utama dari emansipasi wanita yang dimaksudkan
R.A. Kartini tidak pernah dimaknai. Sebuah arti emansipasi yang selama ini melekat
pada masyarakat kita hanya adanya persamaan hak antara laki-laki dan wanita
yang semu. Adanya kekeliruan persepsi itu membuat para wanita seolah ingin sama
haknya dengan lelaki dalam segala hal. Padahal jelas bahwa secara fitrah ada
pembatas atau perbedaan antara hak keduanya.
Istilah “women karier”
yang selama ini menjangkit kaum ibu terutama diperkotaan justru menjadikan
derajat wanita tidak berada dalam kemuliaan layaknya seorang wanita. Karena
sekarang segala hal yang menjadi profesi/aktivitas laki-laki ternyata menjadi
profesi kaum wanita juga. Padahal emansipasi yang sebenarnya dimaksudkan oleh
R.A.Kartini ialah persamaan hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam
segi pemikiran serta ilmu pengetahuan, tidak menjadikan wanita seperti katak
dalam tempurung, artinya wanita pun memilki hak yang sama dalam berpendapat,
beraspiasi dan terutama menikmati pendidikan yang setinggi-tingginya. Alasan mengapa
wanita harus mendapatkan pendidikan karena untuk bekal wanita jika kelak
menjadi seorang ibu, dan manfaat pendidikan itu ialah tidak lain untuk mendidik
sang anak ketika suami sedang bekerja. Dan yang terpenting ialah agar bumi putera
(kaum wanita) sadar bahwa mereka sebenarnya sedang mengalami penjajahan secara
lahir dan batin oleh Belanda, sehingga pada akhirnya mampu melawan dan
memberontak dan bangkit dari kegelapan.
Fenomena yang terjadi
saat ini istilah “ child broken home” seolah tidak asing lagi didengar. Padahal
seorang anak yang mengalami broken home akibat kesibukan kedua orang tuanya
dapat merusak masa depan sang anak. Banyak anak, terutama di perkotaan yang
kurang mendapatkan pendidikan dan kasih sayang dari seorang ibu dan hanya
pembantu atau baby sitter saja yang anak temui setiap harinya. Figur ibu yang
seharusnya sepenuhnya bertanggung jawab dalam mendidik perkembangan baik dari
segi kognitif, afektif serta motoriknya kurang terlibat. Sehingga sang anak
mencari kesenangan diluar rumah, bergaul dengan kawan-kawannya tanpa adanya
kontrol orang tua. Dan jika sang anak terjebak dalam sex bebas atau narkoba
barulah para orang tua khusunya ibu menyesal. Yang menjadi pertanyaan apakah
hal tersebut yang diinginkan R.A.Kartini?
MEMAKNAI
ARTI PENDIDIKAN
Buku karya R.A.Kartini
yakni “Habis Gelap Terbitlah Terang” merupakan kumpulan surat atau
tulisan-tulisan beliau tentang nasib kaum wanita yang diperlakukan tidak adil
oleh keadaan. Ada semboyan dari beliau yang sangat membangun ialah “Kita
Harus Membuat Sejarah, Kita Mesti Menentukan Masa Depan Kita yang Sesuai Keperluan
Kita Sebagai Kaum Wanita dan Harus Mendapat Pendidikan Yang Cukup Seperti
Halnya Kaum Laki-Laki ”.
karena ketika itu wanita harus terkukung dalam tembok
ratapan, dan tetap bodoh. Sedangkan wanita dituntut cerdas dalam memberikan
pendidikan pada anak dan dalam segala urusan lainnya. Sungguh ironis, namun
keadaan itu berubah setelah ketulusan R.A.Kartini berkobar. Ia mendirikan sanggar/rumah
belajar sekaligus menjadi pengajar bagi kaum wanita di rumahnya sendiri. Hingga
pada tahun 1918 berdiri sekolah Kartini di tempat ia tinggal yakni di Jepara.
Mulai dari sanalah semangat kartini terus tertular pada wanita-wanita lainnya
hingga ke beberapa daerah, yang tujuan utamanya sama yakni menjadikan wanita pribumi
cerdas dan bermanfaat bagi lingkungannya.
Hakikat dari sebuah
pendidikan ialah mampu membedakan anatara manusia dan hewan. Manusia sebagai
makhluk ciptaan tuhan yang diamanatkan untuk menjaga bumi ini tentunya harus
memilki ilmu atau pengetahuan yang memadai, dan sebuah ilmu hanya bisa
didapatkan dengan jalan pendidikan. Berkat pendidikan pula manusia dapat hidup
mawas dan mampu mengatur serta mengontrol segala bentuk pemikiran, tutur, tindakan
agar terciptanya suasana kehidupan sosial yang harmonis.
Saat ini tidak ada diskriminasi
sama sekali antara wanita dan laki-laki dalam menikmati pendidikan. Namun tidak
dipungkiri bahwa di daerah-daerah masih ada atau mungkin sangat banyak
anak-anak terutama kaum wanita yang tidak bisa menikmati pendidikan. Entah yang
menjadi penghambat faktor ekonomi, atau jarak sekolah yang sulit dijangkau. Yang
jelas dari semangat R.A. Kartini kita mampu belajar tentang pemikiran,
kepedulian, keberanian, dan mampu membangun peradaban baru.
Dalam memperingati hari
kartini pada dasarnya juga memperingati pendidikan kaum wanita. Bukan hanya
sekedar peringkatan yang selama ini diselenggarakan, semisal dalam bentuk lomba
pakaian adat, lomba masak dan lain sebagainya yang justru tanpa disadari
menghilangkan esensi hari kartini itu sendiri. Akan tetapi yang harus digali
ialah model Krtinin baru. Di zaman moderen seperti sekarang ini Indonesia
membutuhkan sosok-sosok kartini masa kini yang mampu memberikan perubahan baru
atau melanjutkan perjuangan R.A. Kartini dalam memberikan kontribusi kongkrit
dalam segala hal asalkan bernilai positif dan progresif pada bangsa ini.
BIODATA PENULIS;
Asep Yana Yusyama
Tinggal di Padarincang-Serang. Menempuh pendidikan di Untirta, Program Studi
Diksatrasia’08. Bergiat di Belistra dan Kubah Budaya.
Komentar
Posting Komentar