MENIKMATI KEINDAHAN BULAN SUCI
Oleh:
Asep Yana Yusyama, S.Pd.
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (Q.S. Al-baqarah: 183).
‘Ash-shiyam’ secara arti yakni menahan
diri. Artinya menahan diri di sini bukan hanya dari lapar dan haus semata,
melainkan ada yang lebih urgent
daripada itu, yakni menahan diri dari segala sesuatu yang dapat
menimbulkan hawa nafsu. Menahan diri diperuntukan bagi semua kalangan. Yang
muda-tua, sehat-sakit (yang sakit jika mampu), laki-laki-perempuan (permepuan jika
tidak sedang haid), artinya peruntukan puasa ini diwajibkan bagi muslimin
muslimat karena termasuk ke dalam rukun islam.
Puasa jika ditinjau secara historis bukan hanya dilakukan oleh umat islam saja.
Sejak zaman Mesir kuno, sebelum mereka mengenal agama
samawi, juga telah melakukan puasa. Selain itu juga orang-orang Yunani dan
Romawi, agama Budha, Yahudi, Krisen juga mengenal puasa. Ibn an-Nadim dalam
bukunya al-Fahrasat*, menjelaskan
bahwa agama yang menyembah berhala, salah satunya penyembah bintang di langit,
mereka melakukan puasa selama tiga puluh hari dalam waktu satu tahun. Selain
itu ada juga puasa sunnahnya selama 16 hari dan ada juga yang 27 hari. Konon,
puasa mereka merupakan bentuk penghormatan kepada bulan, kemudian penghormatan
kepada bintang Mars yang menurut mereka itu adalah
bintang nasib, dan terakhir penghormatan terhadap matahari.
Dalam agama Budha, juga dikenal puasa
yang dimulai dari terbitnya matahari hingga tenggelamnya matahari. Namun
pengikut Budha hanya melakukan puasa empat hari dalam sebulan. Umat Budha ini menyebut puasa itu dengan sebutan ‘uposatha’.
Sealanjutnya kaum
Yahudi,
mereka menjalankan
puasanya lebih lama dari kaum muslim, yakni empat puluh hari dalam setahun.
Agama Kristen juga ada tradisi berpuasa, walaupun dalam kitab Perjanjian Baru
tidak ada perintah tentang puasa, namun dalam kehidupan mereka tetap melakukan
puasa yang ditetapkan oleh pemuka-pemuka agama Kristen tersebut.
Setiap kali ramadhan tiba, di Indonesia biasanya
terjadi berbagai tradisi, salah satunya razia. Entah kebiasaan tersebut hanya
sebagai formalitas semata, yang jelas
di beberapa daerah razia dilaksanakan
jauh hari
sebelum ramadhan menjelang. Hal tersebut
sengaja dilakukan demi terjaganya kewibawaan bulan suci ramadhan. Razia yang dilakukan
oleh aparat kepolisian beserta satpol PP selaku eksekutor tempat-tempat yang
dianggap menjadi penyakit masyarkat ini mengundang pro-kontra dari berbagai
kalangan. Ada yang menilai razia ini hanya sekedar formalitas dalam rangka
aparat kepolisian mencari simpati masyarkat, karena semakin lama citra penegak
hukum semakin buruk dalam berbagai hal, namun ada juga
yang mengapresiasi upaya tersebut.
Tempat
prostitusi, diskotik, warung remang-remang, warung pijat plus-plus warung yang menjual minuman keras, selalu yang menjadi
langganan operasi rutin tahunan tersebut dinilai tidaklah efektif, karena yang
menjadi target operasi hanya tempat-tempat kelas teri, sedangkan tempat
prostitusi besar, hotel, diskotik,
kerapkali jarang menjadi target utama operasi aparat. Selain itu, operasi
yang dilakukan di tempat-tempat kelas teri pun seringkali
tidak membuahkan hasil, hal itu dikarenakan operasi sudah ‘bocor’ atau alasan lainnya. Dan bukan
menjadi rahasia lagi jika terkadang tempat-tempat terlarang seperti itu
justru memiliki ‘backing’ untuk melindungi keilegalan, dan yang berperan
di belakang itu semua adalah para penegak hukum sendiri alias aparat kepolisian
bekerjasama dengan pemilik tempat atau yang memiliki modal.
Secara
riil, masyarakat di Indonesia telah sekian lama menjadi budak kemaksiatan yang
sesungguhnya menjadi penyebab utama kehancuran moral, akhlak serta aqidah.
Namun yang dimaksud penulis masyarakat di sini
tidaklah masyarakat secara general, namun hanya sebagian besar saja, dan yang sangat disayangkan lagi yakni generasi muda
yang mengalami degradasi moral tersebut. Tentunya yang menjadi titik persoalan
sebenarnya adalah ketika sebuah razia itu dilakukan pemerintah, apakah lantas
bulan ramadhan akan berjalan dengan nyaman dan aman? Tentu hal tersebut
hanyalah fenomena kecil saja selain permasalahan utamanya ialah terletak pada
segala bentuk kesadaran, entah secara
individu
maupun keseluruhan. Selain itu aturan pemerintah dan proses hukum yang lemah sehingga dengan
adanya razia, tidak serta merta menjadikan pelaku
atau pekerja seks, penjual miras, sedikitpun jera.
Ramadhan di
Indonesia yang merupakan negara terbanyak
muslimnya, cara untuk menyambut ramadhan memang bisa dibilang unik
dibanding dengan negara muslim lainnya, misalnya perbandingan dengan muslim
timur tengah yang cenderung konvensional. Di negara kita, ramadhan menjadi
fenomena menarik karena cara penyambutan hingga pelaksanaan berbagai tradisi
ramadhan mampu membuat kita sebagai umat muslim merasakan kebahagiaan dan
keberkahan bulan suci. Misalnya saja, penyambutan pada saat kedatangan ada tradisi keliling
kampung membawa obor, kembang api, petasan. Ketika ramadhan berlangsung—tarawih keliling, dan setelah
ramadhan yakni idul fitri tradisi mudik pasti terjadi. Hal tersebut menajdi warna tersendiri dalam perayaannya.
OPTIMALKAN BULAN SUCI RAMADHAN
Agama secara hakikat berperan sebagai
pegangan yang paling hakiki bagi manusia agar tidak terjerumus dalam jurang
kesesatan, kegelapan, dan kemaksiatan. Namun yang terjadi saat ini agama tidaklah
dijadikan sebagai pegangan utama. Hal tersebut dikarenakan
berbagai faktor, misalnya moderenisasi dan globalisasi yang
mengharuskan manusia menjalani hidup secara sekuler. Manusia saat ini hanya
diarahkan untuk mengejar hal material atau dunia semata, sedangkan yang sifatnya ukhrowi
dan atau rohani
seolah tidak dijadikan sebagai prioritas utama.
Momentum bulan suci ramadhan sebagai jalan terang bagi
kaum muslimin untuk merekonstruksi lahir dan batin diharapkan menjadi
media agar manusia memiliki ketenangan hidup di dunia dan akhirat, serta tentu
saja limpahan pahala yang dijanjikan Allah swt bagi hambanya yang mengoptimalkan bulan suci ramadhan.
Selain itu, bagi
dunia kesehatan manfaat berpuasa juga mampu memperbaiki organ-organ tubuh yang secara rutin beroperasi selama sebelas bulan lamanya. Maka dengan
berpuasa, organ tubuh beristirahat sementara, sehingga pada saat pasca ramadhan organ tubuh — lambung dan alat pencernaan mampu berfungsi secara optimal kembali. Sesuai
dengan sebuah hadits “Berpuasalah maka niscaya kalian akan sehat”, (H.R. ath-Thabarani). Dan tentu saja masih banyak keberkahan lainnya yang dijanjikan Allah swt tentang faedah
puasa di luar nalar manusia.
Seluruh elemen, baik masyarakat ataupun pemerintah harus
memiliki antisipasi dengan tibanya bulan agung ini. Segala
hal, bukan dalam hal razia saja, misalnya yang justru menjadi persoalan lumayan serius ialah timbul tindakan kriminal yang tentunya
meresahkan masyarakat. Misalnya saja
pencopetan, karena biasanya pada saat ramadhan berlangsung tempat-tempat
umum seperti pasar tradisonal atau modern bisa berkali lipat ramainya. Selain
itu akses transportasi, entah itu termial, stasiun, bandara mauapun pelabuhan
juga meningkat penggunanya. Sehingga hal tersebut akan menjadi kesempatan penjahat untuk mencari mangsanya. Tentu saja hasil dari kejahatan (copet) tersebut dugunakan untuk membeli pakaian
lebaran dia
dan keluarganya, karena dilakukan oleh
orang yang memilki ekonomi lemah sehingga jalan pintas harus diambil. Atau bahkan ada modus lain selain
yang disebutkan tadi.
Selain
itu, permasalahan insidental
lainya ialah orang-orang yang tidak berpuasa, semisal gelandangan maupun
masyarakat biasa. Di sekitar kita masih banyak orang-orang yang sebenarnya tahu
hukum islam tentang kewajiban berpuasa, namun tidak mengamalkannya dalam
kehidupan nyata. Terhadap kondisi demikian, bukan hanya dosa ketika dalam
suasana bulan ramadhan ada pihak-pihak yang justru menjadi penggoda nyata
(selain setan) bagi orang yang sedang berpuasa, dan secara norma-etika pun
orang seperti itu tentu bisa dikatakan amoral. Penulis pernah suatu waktu pergi
ke satu sudut kota dan kebetulan
melewati warung makan. Dari luar memang warung tersebut nampak tutup, namun
karena ketidaksengajaan, penulis melihat
ada asap rokok muncul dari balik tirai penutup kaca. Setelah diketahui, ternyata warung makan tersebut sedang
beroperasi dan banyak pelanggan menyantap makanan, atau sedang ngopi plus beberapa
nyala api rokok. Namun harus diingat, bahwa hal
tersebut justru bukanlah dijadikan sandungan, dan
ketika kita tidak terjebak dalam kondisi demikian justru pahala makin
dilipatgandakan. Artinya jangan juga terlalu di permasalahkan.
Dalam bulan suci ini, gerbang pahala — pintu ampunan
terbuka luas. Maka peningkatan ketaqwaan merupakan momentum yang tepat
dilakukan setelah sebelas tahun ke belakang perbuatan manusia lalai dan lengah.
Sesuatu yang dilarang lebih sering dilakukan daripada yang diperintahnya. Maka dengan datangnya bulan suci, diharapkan akan menjadi
penawar bukan bagi individu yang menjalankan
saja, akan tetapi bagi seluruh alam. Karena pada
dasarnya bulan ramadhan datang sangat dirindukan oleh jagat raya dan seisinya. Artinya
sejuta keberkahan dan kenikmatan datang bagi yang menjalankannya. Namun juga sebaliknya,
bagi orang yang menodai bulan suci ini dosanya juga sangatlah setimpal.
Umat
islam selain harus sungguh-sungguh dalam
praktik
puasa,
seremonial mengisi
ramadhan juga biasanya berwarna. Misalnya saja ada yang mengisi jadwal
pengajian di masjid, buka bersama, membaca/tahfidz Al-Qur’an sepanjang malam,
tarawih keliling, perlombaan islami, tabuh bedug, dan lain sebagainya, yang
tentu saja tidak mengurangi esensi bulan suci ramadhan. Keinginan melakukan hal
tersebut timbul dari suatu tradisi dan semata-mata bermaksud mewarnai raja bulan penuh dengan ampunan ini.
Begitupun dalam sebuah hadits, “Barang siapa mendirikan puasa Ramadhan
dengan penuh keimanan dan kebaikan, maka akan diampunilah dosa-dosanya yang
telah lalu” (H.R. Bukhari Muslim).
-Catatan Kaki: * M. Quraish Shihab ‘Tafsir
Al-Mishbah’ Volume 1 (2011:485).
Komentar
Posting Komentar