Sebuah Cerpen
BARANGKALI SANTET
Oleh: Asep Yana
Yusyama
Borok itu telah menggerogoti tubuhnya.
Awalnya hanya luka kecil, luka setitik yang kemudian terus merambat hingga ke
sekujur tubuhnya. Tubuh yang semula halus kini penuh dengan borok. “Lihat aku Mak,
aku sudah lelah, malu.” Mak Inah hanya bisa menangis. Langit telah meninggalkan
warna birunya, daun-daun telah gugur dari dahannya. Wanita itu telah
dipropaganda oleh ketidakadilan. Seorang wanita tua renta yang biasa disebut
Mak Inah sehari-hari berjualan gorengan. Dagangannya ia jajakan di sekitar
kampung. Jika nasib baik sedang berpihak, dagangannya selalu habis, dan jika
tidak habis, ia akan membagikannya ke tetangga, walaupun tidak jarang gorengan
yang diberikan Mak Inah dibuang, karena warga tahu, Mak Inah tinggal dengan
seorang gadis yang memilki borok amat parah.
Pagi itu cuaca cerah. Suara burung
berkicau riang. Embun masih membasahi dedaunan, suara gemercik air yang berasal
dari belakang rumah Mak Inah terdengar begitu tenang. Nur tiba-tiba keluar.
Memang tidak biasanya ia memberanikan diri keluar rumah. Tentu saja karena
takut bertemu dengan orang yang melintas untuk pergi ke sawahnya masing-masing.
Ia sadar jika ada yang melihatnya, mereka akan tertawa keras sembari memasang mata
jijik. Pintu rumah itu bersuara, seketika muncul wajah Nur mengengok
kanan-kiri. Ketika merasa tidak ada seorang pun terlihat, ia keluar sekedar
untuk menhirup udara pagi dan menikmati pemandangan sekitar rumahnya yang
dikelilingi sawah dan perbukitan. Di belakang rumah yang ditempati Nur kini,
berbaris pohon pisang yang daunnya seringkali dijadikan sumber mata pencaharian
Mak Inah.
“Tumben
keluar Nur.” Tiba- tiba suara muncul persis dari belakang Nur.
“Emak
ini bikin aku kaget saja, aku kira tetangga-tetangga menyebalkan itu.”
“Kau
mau mandi Nur?” Mak Inah bertanya.
“Aku
tidak akan mandi Mak, karena kalau aku mandi, rasa gatal borok-borok ini
semakin menjadi, bahkan bisa keluar darah.”
“Ia,
tapi badanmu itu, emm baunya menyengat sekali.”
“Biarlah
Mak, aku anggap hidup ini juga bau seperti bangkai, tidak berpihak padaku”.
“Kamu
jangan begitu nak, Mak juga tak henti-hentinya berdoa agar kau sembuh.”
“Apa,
berdoa saja tidak cukup Mak, penyakitku ini aneh, dokter, orang pintar, sampai
ritual-ritual tak masuk akal saran dari dukun itu sudah kita lakukan, tapi mana
buktinya Mak?”
“Ya
sudah ayo kita siap-siap makan. Mak sudah masak tadi subuh. Tapi, kita makan
seperti biasa ya, nasi sama mie saja.”
Suara tutup pintu itu pun terdengar.
Sektika suasana hening. Hanya terdengar suara obrolan pelan antara Mak dan Nur dari
kejauhan. Sebenarnya Nur seorang gadis tercantik di desanya. Ia anak seorang
carik desa. Namun ketika Nur terkena penyakit aneh itu, bapaknya memutuskan
agar Nur pergi dari desa itu. Semula alasannya Nur berobat di tempat saudara
ayahnya. Uang pun tak henti-hentinya mengalir tiap bulannya. Untuk biaya hidup
dan berobat Nur tentunya. Kabar yang diketahui tetangga-tetangga Nur berbeda, bahwa
ia melanjutkan sekolah di tempat neneknya. Ya, sebenarnya hanya semacam menyembunyikan
aib keluarga saja. Namun setelah enam bulan berlalu uang tak juga kunjung
diterima Mak Inah Nur, setelah diketahui ternyata ayah Nur sudah berada di
dalam bui. Ia menjadi tersangka penggelapan raskin. Semanjak itu kehidupan Nur
semakin hancur.
Jendela kamar Nur selalu terbuka,
ukurannya begitu kecil. Sekedar untuk masuk udara dan cahaya matahari untuk
menghangatkan tubuh. Nur seringkali menghabiskan waktunya memandangi
batang-batang padi yang selalu bergoyang tertiupa angin. Sesekali burung-burung
hinggap di antara jajaran padi itu. Sesekali Nur menangis pelan, terkadang
menangis sampai meronta. Sedangkan di luar kamar Nur, Mak Inah juga menangis
sembari mengusap-usap dadanya. Sebuah getirnya kehidupan, kedua perempuan itu
menjalani kehidupan dengan sebuah penderitaan demi penderitaan yang semakin
hari semakin sulit. Namun sampai detik itu, Ibu kandung Nur masih berada di
luar kota, ia pergi sejak tiga bulan lalu sebelum Nur ditimpa penyakit aneh
itu, ibu Nur masih belum mengetahui, penyakit apa yang menimpa anak tunggalnya
itu.
Sebelum Nur dilanda penyakit aneh itu,
Mak Inah bermimpi di sekeliling rumah majikannyanya penuh dengan ular. Jenis
ularnya beragam, dari yang berbisa higga tidak berbisa. Dari kecil sampai
besar. Mak Inah sempat meraba-raba apa arti mimpi itu. Karena dalam mimpi itu
ia mengalami ketakutan yang luar biasa. Tragedi yang dialami keluarga Nur
sesungguhnya bukan kali ini terjadi. Jauh sebelum Nur mengalami penyakit aneh
itu, ia tidak jarang menangis tiap malam. Karena perilaku Ibu Nur yang selalu pergi
ke luar rumah. Dan suaminya tidak pernah mengetahui hal itu, karena ternyata
ayahnya jarang di rumah. Selain Nur, Mak Inah yang tahu.
Paras Nur mempesona, mengalahkan
teman-teman seusianya. Bahkan Nur seringkali dijauhi temannya hanya karena dia
yang selalu mendapat pujian setiap lelaki tampan di desanya. Meskipun demikian,
Nur tidak pernah menghiraukan jika ada lelaki yang mendekati. Apalagi bapakya
yang seorang Carik desa membuat para lelaki segan untuk mendekati Nur. Pernah
suatu ketika ada seorang pemuda nekat mendatangi rumah Nur. Namun naas nasib
lelaki itu, ia dimaki-maki ayah Nur sebelum ia bertemu Nur. Di sebuah jendela bertralis,
tampak wajah Nur di sela-sela gorden daun jendela. Setelah itu, ia kembali
merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang dibalut kain warna hijau bermotif
bunga sembari merengungi nasibnya.
Nur yang tidak memahami apa-apa tentang
kehidupan, ia mencoba menerawang kehidupannya. Maklumlah, usianya baru 16
tahun. Di depan sebuah cermin, wajah ayunya dibaluti bedak, bibir meronanya
diolesi lipstik warna merah. Setelah wajahnya terlihat lebih cantik, kemudian
ia lap hingga bersih. Pakaian mewah di lemarinya selalu menggantung, hampir
tidak pernah ia gunakan kecuali jika ada pengajian di dekat rumahnya.
“Mak
aku sesekali ingin keluar dari kebiasaanku di rumah ini, aku ingin menikmati
masa mudaku dengan wajar, bermain dengan seusiaku, canda gurau menikmati
lezatnya jajanan di luar sana”
Mak
Inah hanya tersenuyum mendengar curahan hati Nur.
“Mak
sudah masuk ashar ini, yuk kita shalat, setelah shalat seperti biasa kita masak
menu hari rabu.”
Tidak
ada yang istimewa di kehidupan Nur. Rutinitas sehari-harnya selalu
demikian. Menjadikanya seperti katak
dalam tempurung.
*
Di sore itu, Nur mulai memiliki
aktivitas sekedar untuk melepaskan kepenatan berada di sebuah rumah bilik dan
beratapkan daun ilalang, beralaskan bambu. Sudah beberapa sore ini, Nur selalu
mencoba menyibukkan diri dengan menyirami tanaman-tanaman di pekarangan rumah
Mak Inah. Ada bunga-bunga, dan tanaman hias lainnya. Namun yang paling
disenangi Nur adalah pada saat ia menyirami dan menyemai anggrek hutan yng
berhasil tumbuh di pohon jambu aer. Pada
saat itu lah Nur selalu bisa sedikit tersenyum, sejenak melupakan penyakitnya
yang semakin hari semakin menggerogoti tubuh mulusnya.
“Nur
kau kah itu?” tiba-tiba suara terdengar dari belakang Nur.
Seketika
Nur lari terbirit ke dalam rumah.
“Nur
Ibu hanya memastikan kau ada bener ada di sini, tenang saja Ibu tidak akan
mengambil kamu, untuk apa, kamu jangan geer
Nur, Ibu pergi, ini Ibu tinggalkan uang untuk keperluan kalian.” Sambil berlalu
Ibu kandung Nur meletakkan uang yang terbungkus dalam sebuah amplop di amben depan rumah.
Nur
jengkel, amarahnya terbakar, lantas ia mengambil sebuah gayung yang sudah
terisi air mendidih yang baru dimasaknya di dapur. Dan tiba-tiba.
“Ahhh...
dasar anak gila, ohh... tidak...” rintihan itu seketika menggaung seiring Nur
menyiramkan air panas persis di wajah ibu kandungnya.
“Hah..
hah.. haahaa..., sana pergi kau pelacur tua, sengaja kusiramkan air mendidih
itu agar kamu tidak selalu bangga dengan wajah cantikmu itu.”
Sementara
rintihan belum selesai, Mak Inah tampak dari kejauhan, ia melangkahkan kakinya
lebih cepat sambil membawa nyiru yang
berisi dagangan yang tidak habis.
“Oh
tidak, apa yang telah terjadi?” Mak Inah bertanya kaget.
“Biar,
biarkan Mak, itu pelajaran bagi seorang ibu yang sadis, menelantarkan keluarga
demi para lelaki yang lebih muda, dia pantas menerima itu semua.” Nur menjawab
dengan nada kesal.
“Tapi
Nur, dia tetap ibu kandungmu, walau bagaimanapun ibumu yang membuat kamu ada di
dunia ini.” Rintih Mak terisak.
“Mana
ada seorang ibu tega meninggalkan keluarga, harimau pun sepertinya tidak
begitu, dia manusia Mak.”
Sementara
suara raungan ibu Nur tidak berhenti, Mak Inah mengantar Ibu Nur ke sebuah
puskesmas yang jeritan yang keluar dari yang letaknya tidak jauh dari kampung
itu. Puskesmas tidak sanggup menangani luka di wajah ibu Nur. Lantas ia dirujuk
ke rumah sakit yang jaraknya satu jam dari kampung Mak Inah.
Nur merintih di lorong-lorong gelap.
Pedih bercampur amarah. Sesekali Ia menyesali perbuatannya, sampai air matanya
tak tertahan membasahi pipinya yang dulu putih mulus. Nur berteriak, teriakannya
terdengar sampai ke sela-sela dedaunan, batang rumput, dan burung bersautan
seolah mengetahui di dalam sebuah gubuk ada suara tangisan. Bukk... seketika suara pintu terdengar
karena didorong oleh Nur yang berlari menuju galengan sawah. Nur tidak berhenti berlari sampai Ia benar-benar
lelah dan kehabisan nafas. Di tengah engahan nafas yang tersengal, ia terduduk
di sebuah gubuk di tengah hamparan sawah.
Di sebuah gubuk, persis di tengah
hamparan sawah, Nur hanya merintih, bercampur antara amarah dan rasa bersalah. Lantas
ia terlamun pada sebuah masa, di mana ia masih sangat manja. Keluarganya hidup
harmonis tidak ada sedikit pun, yang ada hanya sebuah suka cita, canda tawa,
walaupun terbilang hidup sederhana. Nur anak tunggal. Ia menjadi cucu pertama
di keluarganya. Ayahnya asli kelahiran Tasikmalaya, Ibunya asli Pandeglang.
Kehidupan keluarga Nur berubah setelah Ayah Nur diangkat menjadi Carik desa
ketika Nur duduk di kealas delapan SMP. Sejak itu kehidupannya berubah menjadi
abu-abu. Tidak karuan dan rumah seperti neraka bagi Nur.
“Nur, Nur...” Suara tidak asing itu
terdengar dari depan pintu. Ketika Mak Inah membuka pintu, namun ia medapati
kenyataan bahwa Nur tidak ada di rumah. Semantara itu, matahari sebentar lagi
akan tenggelam untuk beristirahat. Mak Inah ketakutan jika Nur kabur dari
rumah, karena baru kali ini ia mendapati Nur tidak ada di rumah. Mak Inah
segera mencari Nur di sekitar sawah yang ia duga satu-satunya tempat pelarian
Nur, karena letak rumah Mak Inah hanya satu-satunya, rumah orang lain cukup
jauh.
Pada saat Mak Inah gelisah, seketika
Nur tiba di rumah dengan kondisi badan berlumpur dan bau. Wajar saja, karena
ketika ia hendak pulang ke rumah, beberapa kali ia tercebur ke dalam genangan
sawah.
“Oh tidak Nur, kenapa kamu?” Mak
Inah bertanya.
Dengan
tatapan kosong, Nur menjawab, “Aku anak durhaka Mak, seharusnya Aku tidak
melakukan hal bodoh itu sama ibu.”
“Sudahlah
Nur, ibu kamu sudah ditangani dokter kok, tenang saja.”
“Tapi
Mak, aku tetap saja durhaka, aku ingin mati saja,” Rintihan Nur membuat Mak
Inah menangis.
“Ya
sudah Nur, kamu bersihkan badan kamu, setelah itu kamu makan, nanti Mak akan
membuatkan jamu penenang sebelum kau tidur.”
Lantas Nur belalu menuju kamar mandi
untuk membersihkan badanya.
Setelah
mandi, Nur makan. Setelah itu, Nur minum jamu yang disediakan Mak Inah.
Seketika Nur merasakan ngantuk yang sangat hebat. “Mak, Nur tidur duluan ya,
ngantuk sekali ini, tidak biasanya.”
“Tidur
lah Nur, yang nyenyak.” Jawab Mak Inah.
Dan
semenjak malam itu, Nur tidak pernah terbangun lagi. Ia telah tidur panjang.
Penulis adalah Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Plus Assa'adah
Komentar
Posting Komentar