ILMU, KARYA, DAN KETELADANAN SYEKH NAWAWI AL-BANTANI


ILMU, KARYA, DAN KETELADANAN SYEKH NAWAWI AL-BANTANI

Oleh: Asep Yana Yusyama


Jika kita ingin mengingat orang besar, maka sangat banyak sekali orang besar. Tapi tidak semua orang besar dikenal seantero negeri, hingga namanya harum di belahan dunia. Ya, beliau adalah Syekh Nawawi al-Bantani. Karyanyalah yang membuat ia  selalu dikenal oleh umat islam hingga sekarang. Namanya diabadikan menjadi nama masjid di Banten dan menjadi salah satu ikon. Syekh Nawawi al-Bantani lahir dan besar di Banten, tepatnya daerah Tanara Serang-Banten. Di tanah suci Mekkah, ia juga dikenal sebagai ilmuan, penulis dan pengarang kitab yang banyak dijadikan sumber rujukan. Tak pelak, di setiap hadorot pengantar tahlilan— yang menjadi tradisi umat islam ahlussunah pun namanya selalu didoakan. Ada beberapa keunggulan Syekh Nawawi al-Bantani, diantaranya, tawadhu, istiqomah dan kerendahan hatinya walaupun ia merupakan orang besar. Ia tidak pernah sombong walaupun semasa hidupnya telah banyak berkarya. Teladan itu yang sangat jarang sekali dimilki orang-orang saat ini.
Syekh Nawawi al-Bantani selama hidupnya mampu menginspirasi para pemikir di Jawa, umumya di semua penjuru dunia, untuk kemudian untuk mengikuti jejaknya, yakni selalu menimba ilmu dan berkarya. Dari tangan terampilnya, ia telah melahirkan 115 karya, bahkan hampir mencapai 200 karya kitab, yang sampai sekarang masih dipakai sebagai sumber rujukan keilmuan. Bidang kitabnya pun beragam,seperti ilmu alat, tauhid, fiqih, tasawuf, tafsir dan hadis. Syekh Nawawi al-Bantani yang bernama lengkap Abu Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi Bin Umar Bin Arabi al-Jawi al-Bantani, pernah menjadi imam di Mekkah. Tak pelak tentunya nusantara amatlah bangga, khusunya Banten semakin dikenal di tanah Arab. Banten dan Syekh Nawawi al-Bantani seperti mata uang tidak dapat dipisahkan. Kualitas diri seorang ulama, pejuang, pemikir dan revolusioner tentunya yang selama hidupnya mewarnai peradaban dunia. Kehadirannya semakin memperkaya keilmuan dunia islam. Karyanya dipakai dan dijadikan rujukan penduduk muslim di seluaruh dunia. Bahkan, Syekh Nawawi al-Bantani masuk dalam salah satu ulama berpengaruh di dunia dalam bidang ilmu pengetahuan islam.
Jika dikalkulasikan, jumlah penulis  dan pemikir dari tanah air amatlah  sedikit. Mengingat secara historis Indonesia terjajah begitu lama sehingga membuat pribumi waktu itu menjadi bodoh, terbelakang, tertindas, dan tertinggal. Jadi, jangankan untuk mengenal huruf atau baca tulis, untuk sekedar hidup saja pribumi harus bertarung dengan keadaan. Namun kehadiran Syekh Nawawi al-Bantani mampu mengangkat harkat dan martabat orang Indonesia, umunya umat muslim. Dengan keterampilan yang dimilki maka islam dan Banten semakin dikenal pada masanya. Sehingga tidak heran jika ada wacana Banten menginginkan pemberian anugerah daerah istimewa khusus seperti Aceh atau Jogja, karena memilki keunikan, keunggulan agama yang kental dan lain sebagainya.
Syekh Nawawai al-Bantani selain pemikir, ia juga pahlawan yang membela umat islam, karena semasa hidup beliau dalam kondisi penjajahan yakni tahun 1813-1897 M. Ketika di tanah air beliau melawan penjajah dengan caranya sendiri. Ia melawan penjajah dengan cara berdakwah—berkhotbah berkeliling ke tiap masjid untuk menyuarakan kebenaran, mencerdaskan, menumbuhkan kesadaran pada masyarkat Banten bahwa mereka sedang dijajah. Selain itu syekh Nawawi al-Bantani juga kerap menularkan semangatnya untuk terus menuntut ilmu karena termasuk jihad juga, tepatnya jihad melawan kebodohan. Rasa nasionalismenya juga tidak diragukan, ia aplikasikan dengan cara terus berusaha agar tanah Banten jangan sampai jatuh ke Hindia-Belanda, apalagi beliau juga memilki hubungan darah Sultan Maulana Hasanudin, bahkan jika dirunut masih ada garis keturunan dari Nabi Muhammad saw. Berkat kecerdasan dan keilmuannya pula Syekh Nawawi al-Bantani memiliki murid-murid yang kelak melanjutkan perjuangannya untuk berdakwah dan meyiarkan agama islam. Sebut saja K.H. Hasyim Asyari pendiri Nahdatul Ulama sekaligus pendiri Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang  Jawa Timur. Kemudian ada K.H. Ahmad Dahlan pendiri organisasi islam Muhammadiyah yang kedua muridnya tersebut walaupun berbeda paham, akan tetapi ilmu mereka berasal dari guru yang sama, dan masih banyak lagi murid lain tentunya.

THOLABUL ILMI DAN BERKARYA
Teladan yang harus dicontoh dari seorang Syekh Nawawi al-Bantani ialah semangat menuntut ilmu dan berkarya. Kaitan dengan mental umat muslim di Indonesia dewasa ini sungguh mengkhawatirkan, sangat bertolak belakang dengan semangat islam. Hari ini kita sebagai umat yang mudah diadu domba, beda pilihan walaupun saudara atau bertetangga bisa meimbulkan percikan konflik. Orang Indonesia lebih senang berselancar di media sosial daripada harus duduk di majelis, berdiskusi bertukar pikiran. Orang kita lebih suka membaca sumber dari media sosial daripada harus berlama-lama duduk di perpustakaan untuk menyelesaikan bacaan dan menambah kualitas keilmuan. Memang sungguh mengenaskan. Hadirnya media sosial dampak buruknya ialah menciptakan budaya instant, bagi yang belum siap untuk menggunakannya tidak bijak. Sayangnya, mayoritas di Indonesia masih seperti itu. Ada kalanya kita berselancar di media sosial untuk berdakwah, memang itu hal positifnya. Namun saat ini pengajian di masjid atau di majelis manapun lebih sepi ketimbang di pusat selancar media sosial.
Saking semangatnya Syekh Nawawi al-Bantani menuntut ilmu, tidak cukup satu guru yang ia ambil ilmunya. Ia menimba ilmu pada Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Maliki, kemudian Syekh Ahmad an-Nahrawi, Syekh Ahmad Khathib Sambas, Syekh Ahmad ad-Dimyati, Syekh Muhammad Khathib Duma al-Hanbali, Syekh Zainuddin Aceh, Syekh Syihabuddin Syekh Ahmad Khathib Sambas, Syekh Abdul Ghani Bima, Syekh Abdul Hamid Daghastani, Syekh Yusuf Sunbulawani, dan masih banyak lagi guru yang lainnya. Di antara nama guru yang disebutkan tersebut, di antaranya ada yang berasal dari tanah Arab, Mesir, Syam dan dari Indonesia.
Semangat menuntut ilmu dan berkarya yang dicontohkan oleh Syekh Nawawi al-Bantani harus ditanamkan pada setiap orang Indonesia, khususnya generasi muda. Semangat tidak berputus asa dalam menimba ilmu, tidak menyerah dalam keadaan. Kemiskinan kultural yang menjangkit mental orang kita belum juga dapat disembuhkan. Kemiskinan kultural lebih berbahaya daripada kemiskinan harta benda. Kemiskian kultural berdampak pada maju tidaknya suatu bangsa, umat dan agama. Walaupun usia bangsa Indonesia sudah merdeka 73 tahun namun pembangunan di semua sektor terhambat. Ini karena sumber daya manusia kita yang belum siap. Pada kemyataannya sebagian orang Indonesia masih beranggpan bahwa menuntut ilmu bukan hal yang terlalu penting. Hal tersebut tercermin masih banyak masyarakat kita yang masih buta huruf, tidak melek pendidikan. Orang tua petani, anaknya harus petani, orang tua nelayan anaknya harus nelayan. Kurang adanya motivasi dari orang tua untuk meningkatkan kualitas kehidupan yang lebih baik untuk keturunannya. Hal itulah yang penulis maksud sebagai kemiskinan kultural. Nasib sejatinya  dapat diubah, salah satu caranya berupaya dengan menuntut ilmu di dunia pendidikan.
Saat ini orang Indonesia juga mengalami sakit, yakni tuna karya. Tidak produktif, lebih suka menjadi penonton darpada harus menjadi inisiator. Tidak terima jika ada kaum buruh asing membludak datang ke tanah air, tapi hanya bisa mencaci. Kita lebih suka menjadi penikmat saja (konsumen) dari pada menjadi pencipta. Lihat saja begitu Indonesia menjadi pasar yang menggiurkan untuk pemasaran elektronik, terutama handphone. Kita bangga menjadi pengguna saja, padahal yang meraup keuntungan besar ialah negara lain.  Menjadi seorang yang produktif, semisal berkarya menghasilkan tulisan (buku) lebih mulia daripada harus menjadi seorang tuna karya. Berkarya tidak ada batasan waktu dan tempat, lihat syekh Nawawi al-Bantani, di Mekah ia berkarya, di Indonesia juga sama. Karya berupa hasil kreasi seseorang yang manfaatnya dapat dirasakan oleh orang lain. Menjadi seorang guru juga berkarya, produknya ialah murid yang mengamalkan ilmunya. Terjadinya transfer keilmuan antara guru dan murid sebagai wujud regenerasi untuk mempertahankan eksistensi peradaban manusia. Melanjutkan perjuangan alim ulama sampai nabi. Menuntut ilmu tanpa pantang menyerah dan berkarnya dalam bentuk apapun merupakan teladan yang diberikan oleh Syekh Nawawi al-Bantani kepada umat generasi penerusnya.
Memilki semangat berkobar layaknya Syekh Nawawi al-Bantani harus ditanamkan di tiap jiwa generasi muda islam saat ini. Karena dengan itulah kita akan memilki harapan dan juga sebagai bentuk ikhtiar sebagai khalifah di muka bumi. Allah swt juga amat senang dengan orang yang produktif. Bahkan Allah tidak menyukai hambanya yang pemalas, banyak menyia-nyiakan waktu yang seharusnya diisi dengan hal bermanfaat, yang tentunya bernlai ibadah. Membaca buku, datang pada guru, berdiskusi, atau berdiam diri di tempat lumbung ilmu merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh muslim jika ingin membawa kemajuan bagi dirinya , terlebih bagi agama bangsanya. Tidak seperti sekarang, islam tertinggal dalam segala aspek. Karya Syekh Nawawi al-Bantani yang sampai sekarang masih menghiasi khasanah keilmuan adalah bukti nyata bahwa untuk menjadi manusia unggul tidak tercipta dengan cara instant. Penuh darah dan perjuangan. Karena itulah selayaknya manusia menanamkan kebaikan, meninggalkan karya yang agung untuk kemaslahatan umat manusia di dunia hingga akhirat kelak. []

Komentar

Postingan populer dari blog ini

opinion