HINGGA
GERIMIS USAI
Oleh: AYY
Pagi masih menyembunyikan
sinarnya, sementara embun masih setia pada dedaunan. Seperti biasa, aku masih
mengurung di ruang nestapa ini. Ya, sebuah penyesalan yang kini aku hadapi.
Penyesalan yang sesungguhnya tidak aku ingikan sama sekali. Sudah hampir satu
bulan ini aku hanya ditemani sepi. Bila malam tiba, hanya suara jangkrik yang
menemani, bila pagi kicauan burung bersahutan, dan siangnya kebisingan tetangga
yang terdengar.
Usiaku baru 22. Aku
baru lulus dari perguruan tinggi kesehatan di Kota West Rain, semua keluarga dan sanak saudara tentu gembira lantas
memberikan congratulation secara
bergantian waktu itu, dan tentu saja aku menjadi kebanggan keluarga, walaupun
kakakku juga sama lulusan perguruan tinggi kesehatan di kota yang berbeda, dan
hingga saat ini ia masih menetap di sana karena harus praktek profesi.
Aku wanita biasa, sama
seperti yang lain. Logika tidak pernah menjadi sahabatku, dan hanya perasaan
yang mendominasi. Sekali lagi Aku sudah lelah menjalani kisah asmaraku sendiri.
Terlebih aku selalu mendapatkan sosok pria palsu, yang memakai seribu topeng.
Mereka bisa berperan ganda layaknya aktor. Dan aku sebagai pemeran utama yang
selalu tersakiti. Perih memang, tapi ini kisah yang telah aku alami. Aku hanya
bisa bercerita pada dinginnya malam, pada reranting pohon dan terlebih pada sesuatu
mati yang kusebut itu rasa.
“Tok. . . tok . . tok.”
Terdengar suara pintu. “Fa ayo makan, mau sampai kapan kamu begini, bukan
begini caranya menyesali keadaan, jika kamu tidak makan sama sekali, sama saja
kamu menyiksa diri sendiri, itu gak baik nak.” Air mataku makin deras mengalir,
itu suara Ibu yang kesekian kali berusaha mencoba menenangkanku. Di satu sisi
aku sayang keluarga, dan tidak ingin membebani mereka. Di sisi lainnya aku kalut
harus bagaimana menahan kepedihan seorang diri. Aku memang lemah, penyesalan
seluas samudera yang kini menghampiri.
Penyesalan ini memang
telah aku ukir sendiri. Aku telah bermain api, tapi aku tidak mampu
memadamkannya. Dalam kisah asmaraku selalu saja berujung pada kepahitan. Sudah
tiga kali aku menjalin asmara dan berujung dusta. Yang paling pahit dan paling
meninggalkan luka mendalam adalah kisah asmaraku bersama pria terakhir.
*
Berawal dari perkenalan
di sebuah tempat kendaraan lalu lalang. Ketika itu aku akan pulang ke rumah di
Kota Boatswain's. Sampai pada
akhirnya aku berkenalan dengan sosok pria yang ternyata tujuannya tidak jauh
dri kota tempat aku tinggal. Dia baru pertama kali ke kota itu, sampai pada
akhirnya dia bertanya padaku mengenai persis alamat tujuannya. Aku yang
mengetahui daerah tujuannya tentu saja memberi tahu sekedarnya, hingga pada
akhirnya kita saling bertukar nomor telepon.
Pada awalnya tidak
terpikir sama sekali kami akan menjalin suatu hubungan yang suatu saat nanti
akan bermuara pada sebuah keseriusan. Awalnya tidak ada komunikasi terjalin hingga
pada suatu hari;
“Hallo, ni Ifa?’
“Ya benar, ini siapa?”
“Ini aku Setya, yang
waktu itu kenalan pas aku mau ke kota Krakatoa,
kamu yang waktu itu memberi petunjuk jalan, aku sekarang sudah sukses, dan
entah mengapa aku teringat pada sosokmu, dengan alasan itu, sekarang ini aku menghubungi
kau.”
Seketika aku bingung,
harus jawab apa. “Oh ia aku ingat.”
Hingga obrolan
berlangsung beberapa lama dan saat itu merupakan telepon perdana darinya yang
mengantarkan kami pada komunikasi lebih intens lagi. Hingga hari-hari
berlangsung kami jadi tambah sering kounikasi cukup walaupun kami Long Distance Relationship.
Awalnya
aku tidak terlalu menghiraukan sebuah komunikasi yang berjalan sangat singkat
itu, sebuah proses kedekatan yang pada akhirnya aku merasa hati ini hampa
karena kisah cintaku putus di tengah jalan, tidak terselamatkan dan semuanya
berujung dusta. Hingga sampai pada proses aku merasa sosok Setya laki-laki yang
umurnya enam tahun di atas aku menjadi pelipur lara. Aku berpikir, mungkinkah
dia sosok yang mampu mengobati luka hati, yang suatu saat nanti akan menjadi
imamku, memang telah sejauh itu pemikiranku dulu.
Dia
datang ibarat angin di tengah terik matajari, begitu mengejutkan. Namun
disadari atau tidak, aku yang dalam kondisi terluka, dia datang di saat waktu
yang tepat, dan tentu saja aku berharap agar ia bisa mengobati, ya sedikitnya
mengobati luka hati yang telah ditorehkan lelaki yang dekat denganku
sebelumnya.
Degup
jantung ini begitu kencang ketika dia berani menyatakan cinta dalam waktu yang
begitu cepat. Awalnya aku memberikan respond biasa saja, tapi ia bisa
membuktikan ketulusan cintanya dengan memberanikan diri terus mengatakan cinta
dan sayang padaku. Ia datang dengan maksud untuk serius menjalin hubungan
denganku, bahkan hingga ke arah pernikahan. Lama tak jumpa, sekitar tujuh bulan
ia datang dengan membawa bingkisan harapan. Aku jelas terharu. Walaupun umur
kami terpaut agak jauh, tapi dengan kondis Mas Setya yang aku kira sudah mapan,
karena Ia mengaku telah bekerja di sebuah Hotel mewah di Bandung sebagai Chief , ya aku kira itu adalah profesi
yang cukup prospektif.
Lelaki
itu datang dengan membawa bingkai mimpi yang coba ia rajut dengan caranya
sendiri. Ia memberikan pandangan-pandangan mengenai visi masa depan yang
membuat aku simpati padanya.
“Aku benar-benar sayang padmu Fa, aku
ingin serius denganmu, sebagai bentuk keseriusanku, aku akan segera melamarmu.”
Jelas Mas Setya
“Kamu serius Mas, aku saja belum begitu
mengetahui asal-usulmu, aku ingin tahu juga keluargamu.” Jawab aku dengan
kondisi setengah terharu.
“Tentu saja Fa, nanti akan aku
perkenalkan kau dengan keluargaku di kota horses'hoofs.”
“Benarkah itu Mas? Kapan aku akan diperkenalkan dengan keluargamu?”
“Ia sabar ya, yang pasti tidak dalam
waktu dekat ini, soalnya ayahku sibuk, maklum dia petinggi kepolisian di
wilayah kota horses'hoofs, selain itu
Ibuku pengusaha, jadi harus aku atur dulu pertemuannya.” Ucap dia.
“Ia Mas, aku percaya padamu sepenuhnya.”
Tegasku yakin.
Semenjak
hari itu, saat Mas Setya mengungkapkan keseriusannya denganku, entah mengapa hari-hariku
menjadi indah kembali. Seketika hilang bayangan lelaki yang pernah berdusta
padaku sebelumnya. Di rumah, aku tentu saja bercerita pada Ibu, aku jelaskan
tentang sosok Mas Setya yang akan serius denganku, yang amat sayang padaku. Aku
bangga menceritakannya pada Ibu, ayah, telebih selain karena profesinya yang
tidak biasa, dan orang tuan dia juga cukup terpandang di kota Horses'hoofs sana.
“Kapan dia akan kau bawa ke rumah Fa,
segera kenalkan pada kami?” Ibu bertanya.
“Ia bu nanti, tapi tidak dalam waktu
dekat ini, dia sekarang masih sibuk, maklumlah kerja di Hotel di kota Bandung.”
Jawabku.
“O ia, mudah-mudahan ia benar-benar
serius menjalin hubungan denganmu.” Terang Ibu.
Hari-hariku
berwarna, ditemani kerinduan baru, rasa sayang rupanya telah tumbuh seiring
berjalannya waktu. Rasa rindu yang menggebu menjadikan aku ingin selalu
mengetahui kabarnya setiap saat. Begitupun dengan Mas Setya, ia juga berucap
sama halnya dengan apa yang aku rasakan, rindu terus menggelayuti, hingga tak
jarang kami mengobrol lewat Handphone selama
berjam-jam lamanya. Terkadang SMS, sekedar untuk bertanya hal-hal remeh sampai
hal agak penting.
“Krig
. . kring . . kring . ..” Sebuah nada dering di HP ku berbunyi, reflex aku deg-degan, berharap dari Mas Setya, dan
ternyata benar saja.
“Hallo Fa apa kabar, maaf baru
menghubungi, aku sibuk banget, ya kamu tahulah kerjaan aku kaya gimana.” Ia
mengawali pembicaraan.
“Ia gak apa-apa Mas, aku maklum kok, dan
kamu ingat aku di sela-sela kesibukan kamu saja aku udah seneng banget Mas.”
Jawab aku.
“Ia sabar ya, Mas akan segera ke rumah
nanti.” Sambung dia.
“Ia aku menunggumu Mas, akan selalu
setia. Jelas aku.
Aku
semakin yakin dengan keseriusan Mas Setya, terlebih dia selalu meyakinkan aku
bahwa tidak ada selain aku di hatinya saat ini, dia juga meyakinkan aku agar
saling percaya satu sama lain, karena kita LDR-an. Tentu saja aku meyakini akan
hal itu. Kabar yang selalu aku dapatkan dari Mas Setya selalu aku ceritakan
pada Ibu. Namun saat itu ibu memberikan sedikit nasihat agar aku jangan terlalu
terhanyut, karena jarak bisa menimbulkan sejuta kemungkinan dugaan-dugaan di
luar pengetahuan manusia. Namun betapa kelirunyanya aku, tidak menghiraukan
sama sekali perkataan ibu, yang mungkin saja sebenarnya itu adalah firasat, dan
mungkin saat itu aku sudah dikuasai rasa sayang dan kepercayaan yang tertanam mantap
dalam perasaanku.
Hari
demi hari berjalan rasa sayang ini semakin besar. Rasanya tidak ada kabar
sehari aku sangat mengkhawatirkannya. Namun kembali lagi, aku sadar bahwa ia
sedang sibuk. Aku harus lebih bisa memakluminya. Terang saja aku merindunya,
terang saja aku mendamba dan terharu dengan keseriusannya, hingga aku merasa
dia lah pelabuhan terakhir cinta aku.
**
Tak
terasa bebrapa hari aku tidak mendapatkan kabar darinya. Aku kalut, khawatir,
ditambah lagi nomor Mas Setya tidak bisa dihubungi, sampai terjadi peristiwa
yang menyayat hati itu;
“Hallo, Mas Setya? Aku mengawali
percakapan.
“Ini siapa?” ternyata nada suara berbeda
menjawab, terang saja aku terkejut.
“Ini nomor Mas Setya kan?” Aku bertanya
kembali.
“Ia benar, tapi ini siapa, aku istri Mas
Setya!” ia menjawab.
“Daaarrrr.” . . . Seketika
aku seperti mendapati suara petir menyambar di siang bolong. Aku amat kaget
mendengar suara asing itu. Semula aku tidak begitu yakin dengan pengakuan
wanita itu, akan tetapi setelah aku menelusuri lebih dalam, bertanya tentang
segala sesuatu yang menyangkut Mas Setya, dari mulai siapa dia sebenarnya,
kerja di mana, alamatnya dan latar berlakang lainnya, semuanya terbukti.
Air mataku seketika
menetes. Aku mendadak lemas tak berdaya. Sejak saat itulah kepahitan itu
bermula. Jawaban dari wanita itu rupanya telah berhasil membuka topeng lelaki
bajingan itu. Ternyata Ia pria yang sudah memillki anak dan istri, kehidupan
mereka sulit, dan selama ini apa yang Ia ceritakan semuanya dusta, ditambah
lagi aku adalah korban yang ke sekian. Aaarrrggghhh, lengkaplah sudah
kekalutanku. Satu hal yang mungkin aku lupa tanyakan pada pria bajingan itu,
yakni tentang hobi. Mungkin jika aku bertanya tentang hobinya apa, ia akan
menjawab, “Hobi aku menghayal.”
Rasanya impian dari
semula yang telah disusun rapi langsung ambruk, sama seperti ambruknya hati
ini. Tembok nestapa ini menjadi saksi bisu, betapa remuk redamnya sebuah
harapan. Sempat terpikir untuk mengakhiri ini dengan cara pintas, namun aku
belum bisa, masih banyak orang yang menyayangi aku tanpa pamrih.
Komentar
Posting Komentar