Cerpen Terbaru



JANDA
Oleh: AYY

Betapa tidak, Bu Isma adalah guruku, ia guru favorit di sekolah kami. Pulang sekolah waktu itu Bu Isma naik motor. Kabarnya ia dibonceng seorang lelaki, berita itu aku dapat dari temanku Judin. Konon siang itu ia melihat Bu Isma menaiki motor gede, namun wajah lelaki itu tidak terlihat jelas, hanya terlihat dari perawakan dan dari sorot mata dibalik kaca helm menandakan bahwa dia itu lelaki.
Keesokan harinya, selasa yang mendung, kelasku  ada jadwal Bu Isma, tentu kami akan menanyakan hal itu, karena kami sayang dengan dia. Kami tidak ingin ada fitnah yang semakin merebak.
“Selamat Pagi anak-anak, bagaimana kabar kalian pagi ini?” Seketika kelas hening, tak ada satu orangpun yang menjawab, hanya tatapan mata dari sekian wajah  yang seolah menyimpan seribu pertanyaan.
“Ada apa ini?” tanya Bu Isma. Tidak sepatah katapun keluar dari murid-muridnya.
“Oke-oke, kita tidak akan memulai pelajaran pagi ini sebelum kalian menjelaskan, ada apa ini, kenapa kalian diam, tidak seperti biasanya?”
“Kami ingin ibu jujur, ibu kemarin pulang sekolah dijemput siapa?”
Seketika wajah Bu Isma pucat pasi, lidahnya terasa kelu. “Maaf hari ini kita tidak jadi belajar, sepertinya saya harus pulang, nanti saya akan minta guru pengganti.” 
Bu Isma pulang dengan kondisi hati yang berkecamuk. Hatinya hancur ketika muridnya harus mengetahui bahwa ia dijemput oleh seorang lelaki kemarin siang.  Di dalam sebuah angkot, yang terbayang antara wajah-wajah muridnya, dan anak semata wayangnya di rumah. 
Sesampainya di rumah, ia langsung mengambil anaknya yang ia titipkan di tetangganya.
“Lho kok Bu Isma sudah pulang, ini kan masih pagi.” Sambil menunduk ia menjawab, “Saya kurang enak badan bu, saya ingin bersitirahat sejenak.” Sektika ia beralalu membawa putranya, tak lupa ia ucapkan terimakasih pada tetangga yang selalu dititipkan anaknya itu.
Di kamar kostnya, ia melanjutkan tangis yang belum usai tadi, seketika ia memandang anaknya yang amat lucu, anaknya hanya baru bisa tertawa, tanpa  mengerti gejolak yang dialami oleh ibunya.
“Nak, kelak kau jangan membenci ibumu ini ya, ibu akan melakukan apa saja asalkan engkau tumbuh menjadi pria dewasa yang tangguh.” Air matanya yang deras semakin membasahi bantal itu. Sesekali ia duduk di depan cermin sembari merenungi keaadaan, sesekali ia membaringkan badan di samping anaknya. Tubuhnya lelah, hingga di pagi itu ia tertidur di samping anaknya.
Tiba-tiba nada dering Hand Phonenya Berbunyi. Matanya terperanjat, ia melihat nama Tedi yang memanggil, tanpa berpikir panjang, ia lantas menolak panggilan dan memutuskan untuk menonaktifkan Hand Phonenya. Ia berbicara dalam hati, tindakan apa yang harus ia lakukan, setidaknya ia tidak ingin kehidupan pribadinya diketahui oleh semua orang, terutama murid-muridnya. Lantas ia menghidupkan kembali Hand Phone yang telah ia singkirkan tadi. Saat itu juga muncul satu pesan dari lelaki yang sama, “Isma mengapa kau menolak panggilanku, dan saat aku telpon lagi, Hand Phone kamu tidak aktif, ada apa, bukankah ini jam istirahat sekolah?”
Bu Isma lantas menjawab pesan lelaki itu, “Maaf tadi sedang banyak guru, kami sedang kumpul, rasanya kurang enak jika tiba-tiba aku harus pergi dan mengangkat telpomu.” Ia berkata, walaupun berat hati harus berbohong.
“Yasudah, nanti aku jemput lagi seperti kemarin ya!” Lelaki itu membalas.
“Tidak usah lah, dan mungkin hubungan kita harus diakhiri, aku tidak ingin mencoreng nama baikku di sekolah.”
“Lho, kita kan sudah sepakat, aku jemput kamu jauh dari gerbang sekolah.”
“Tapi tetap saja, sepertinya kemarin ada yang mengetahui aku dijemput olehmu, makanya aku minta jangan sesekali lagi kau menjemput, jika kita harus bertemu nanti aku yang atur waktunya.”
“Kalau itu mau kamu, silahkan, yang jelas aku ingin yang terbaik buat kita.” Percakapan itu berakhir.
Sebagai wanita biasa Bu Isma masih terbilang muda untuk menanggung beban hidup yang sedemikian getirnya. Umurnya baru 29, tapi ia harus rela menjadi janda karena suaminya meninggal setahun yang lalu. Awalnya rumah tangga mereka amat bahagia, sebelum peristiwa itu terjadi, Bu Isma sedang mengandung delapan bulan, ketika itu ia mendapati berita bahwa suamninya mengalami kecelakaan di tempat kerjanya.  Awalnya ia manut pesan mertuanya, agar tetap tinggal di sana. Namun, semakin lama ia mencium bau ketidakberesan. Sudah dua kali ia melihat kakak iparnya mengintip di sela-sela pintu saat ia tertidur. Ia risih dan memutuskan untuk pergi dari rumah mertuanya itu.
Kini ia hidup berdua bersama buah hatinya. Ia pergi ke kota baru yang ia harapkan bisa melupakan kenangan indah bersama almarhum suaminya. Dengan bermodal ijazah sarjana, ia melamar ke sebuah sekolah sekitar tujuh kilometer dari rumah kontrakannya. Walaupun tak seberapa upahnya, dan memang tak pernah cukup untuk sekedar membeli popok dan susu bayi saja, sampai pada akhirnya ia bertemu dengan sosok pria baru dalam hidupnya.
Hand Phone Bu Isma kembali berdering. “Hallo Bu Isma katanya sakit, kenapa tidak lapor ke saya.” Ia mendapati suara kepala sekolah sedikit keras.
“Iya bu maaf, saya tadi tiba-tiba pusing, mual, saya hanya bilang ke guru piket, maafkan saya bu.”
“Baik, saya harap ke depan kalau ibu mau izin, lakukan perizinan sesuai prosedur.”
“Iya bu, maafkan saya, saya tidak akan mengulangi.”
“Ingat ya bu, ibu masih masa penilaian, ibu belum menjadi guru tetap di sini, jadi saya minta tunjukan kinerja yang baik, apalagi ibu seorang janda, harus mengurusi anak sendirian.” Tetlpon diakhiri.
Bu Isma lagi-lagi harus mendapati kepahitan ucapan, kata ‘Janda’ kenapa harus ia dengar. Air matanya kembali membasahi pipi mulusnya. Sesekali ia terpikir ingin pulang saja ke rumah kakkanya di Malang sana, namun lagi-lagi ia harus mendapati kenyataan bahwa ia tak enak hati jika harus menumpang hidup lagi. Barangkali, jika orang tuanya masih ada, ia bisa membagi penderitaannya.
Di rumah kontrakannya, tak ada barang mewah, karena harta peninggalan suaminya ia tinggalkan di rumah mertuanya, tak satu benda pun ia bawa, kecuali beberapa lembar poto kenangan dan beberapa helai baju suaminya, mungkin sesaat ia rindu, ia bisa memeluk pakaian suaminya disamping rebahan putranya.
Keesokan harinya, keadaan Bu Isma sudah sedikit membaik. Seperti biasa ia menitipkan putra semata wayangnya pada tetangga yang baik hati itu.
“Bu maaf jika kehadiran kami hanya membebani ibu.” Ucap Bu Isma.
“Hey nak, jangan kamu bilang begitu, aku senang anakmu dititipkan pada ibu, ibu juga punya cucu, namun mereka teramat jauh, jadi hadirnya anakmu ini bisa menjadi obat rindu, jadikan aku tempat peraduanmu, silahkan kau tumpahkan keluh kesahmu, seumpama aku ibu kandungmu.”
Percakapan itu terus berlangsung, sampai pada akhirnya ia harus pamit untuk pergi, tak lupa ia menciumi anaknya. “Jangan rewel ya sayang.”
Bu Isma Pamit, sambil berlalu, namun baru tiga langkah ia berajalan si ibu kembali memanggil.
“Nak Isma, kapan kamu berpikir untuk menikah lagi, masa depan kalian masih amat panjang?”
Bu Isma Hanya bisa tersenyum, sambil berakata “Mohon do’anya saja bu, tidak mudah ada lelaki dan keluarganya yang mau menerima janda seperti saya, pamit bu.” 
Sambil melanjutkan langkahya, Bu Isma merasa dalam hati, beban hidupnya sedikit berkurang. Di kota metropolitan seperti ini masih ada sosok baik hati, ia amat bersyukur.
***
Ketika di kelas, susasana masih hening seperti kemarin. Bu Isma masuk kelas yang berbeda, namun ia mendapat perlakuan yang sama. Seluruh murid memasang mata penuh tanya. Namun Bu Isma mencoba mengalihan.
“Mari kita lanjutkan materi yang kemarin.”
“Tidak bu, kami tidak mau belajar sebelum ibu menjelaskan siapa lelaki yang menjemput ibu dua hari yang lalu?”
Namun ada satu murid yang membela, “Hey kalian ini apa-apaan, kita di sini tugasnya belajar, mendapat ilmu dari Bu Isma, mengapa kalian mau tahu masalah pribadi Bu Isma?”
“Kita perlu tahu berita itu sejelas-jelasnya.” Ucap yang lain.
“Lantas kalau kalian sudah tau mau apa?” mereka saling beradu mulut.
“Diaammm.” Suara teriakan keluar,  diiringi suara gebrakan meja yang cukup keras.
 “Yang suka pelajaran saya silahkan ikut, yang tidak suka di sana ada pintu, silahkan keluar.”
Suasana kembali tenang, belajar pun dimulai, namun tidak kondusif, suasana belajar begitu kering, namun mengalir begitu saja.
Pulang sekolah, ada salah satu dari temanku tiba-tiba memanggil, rupanya ia masih penasaran dengan sosok lelaki yang menjemput Bu Isma siang itu. “Kau tahu tidak, Bu Isma tadi marah di kelas, sampai menggebrak meja, baru kali ini aku lihat bu isma begitu murka.”
“Kalian sih masih usil saja, masalah begitu saja diperbesar,” ucap Judin menyahut.
“Hey dia kan guru, guru itu menjadi sorotan, aku belum tahu kalau di kantor guru-guru sudah mengetahui atau belum, yang jelas mereka semua sepertinya belum tahu.”
“Begini saja, jika kita sudah tahu siapa lelaki yang menjemput Bu Isma itu siapa, dan terbukti orang lain, maka kita harus melaporkan ke kepala sekolah, kalau dia saudaranya, cukup kita tutup masalah ini.” Jelas aku.
“Sebenarnya yang menjadi permasalahan adalah, Bu Isma kan Janda dia juga kelaurganya jauh, bukan di sini.” Terang judin.
“Tidak hanya itu, sekolah kita kan yang berbasis agama, rasa-rasanya belum ada guru yang pernah buat ulah di sini, apalagi sampai urusannya amoral begitu.”
Ketika perjalanan pulang, Bu Isma kembali menangis, sekali lagi ia merasa malu dengan kelakuannya sendiri, di satu sisi ia amat malu dengan Tuhannya. Ia sadar bahwa dengan statusnya itu dia akan mengalami banyak permaslahan. Lantas ia menghubungi lelaki yang sedang dekat dengannya.
“Kita bisa ketemu siang ini, ada permasalahan penting.” Tanya Bu Isma via telepon.
“Tentu saja bisa, kita jumpa di tempat biasa kan?” jawab lelaki itu.
“Ya, tentu saja, hanya tempat itu yang aku rasa paling aman, aku sedang perjalanan menuju tempat itu.”
“Baik, tentunya aku akan menunggu.”
Tak lama kemudian, mereka berdua bertemu di salah satu tempat makan sebelah pojok kanan di kampus tempat lelaki itu kuliah.
“Aku sudah tidak tahan dengan kondisi seperti ini, aku belum begitu kuat menghadapi ini seorang diri.” Ucap Bu Isma sembari berkeluh.
“Waktunya tinggal enam bulan lagi, aku akan berusaha semampu aku, aku janji akan cepat lulus, setelah itu kita menikah, kamu terlalu lemah untuk menghadapi masalah ini sendiri, aku harus berada di sampingmu selalu.” Sambung lelaki itu.
“Iya, namun waktu enam bulan begitu teramat lama, aku kesepian, sudah hampir satu tahun aku menjanda. “
“Kenapa sampai saat ini aku tidak boleh main ke tempatmu Isma?
“Kamu harus paham, aku menjadi sorotan di sekolah, bahkan dikontrakanku juga, hanya karena statusku, apalah jadinya jika mereka tahu ada lalaki yang suka datang, aku tidak bisa membayangkan.”
“Oke, tapi aku ingin melindungimu, melindungi anakmu, yang kelak akan menjadi anakku juga.”
“Sedikitpun aku tak meragukanmu, walaupun umurmu terpaut jauh di bawah aku, namun kamu begitu dewasa, jika mau datang saja kau malam hari, ketika orang-orang sudah terlelap, dan kau harus jalan kaki saja jika ingin ke rumahku.”
“Sungguh Isma, aku akan datang di malam hari, jika perlu tiap malam.”
“Jangan, tak usah terlalu sering, sesekali saja, akupun takut jika nanti kita di dalam rumah ada hal-hal yang tidak dikehendaki teradi.”
“Husst, aku lelaki yang kuat, kamu tahu kan semasa kuliah aku aktif di Organisasi keagamaan.
Di malam sabtu itu, cuaca begitu dingin, padahal kemarau sedang melanda. Bu Isma tidak bisa tidur, padahal waktu sudah menunjukan pukul 23.30 WIB. Tak lama, ada SMS muncul, “Aku di depan rumahmu.” Seketika Bu Isma kaget, langsung ia membuka pintu dan menarik lelaki itu masuk. “Kenapa kau tidak kasih tahu aku dulu Tedi, kamu memang menyebalkan?”
“Sengaja, aku ingin memberi kejutan untukmu Isma.”
Lantas lampu pun mulai temaram, malam semakin larut dan sunyi.


Komentar

  1. T-Fal Titanium | T-G-F-A [Latin | Salsas Online] - Titanium Art
    T-Fal titanium titanium stronger than steel is an ultra-modern solid iron womens titanium wedding bands alloy with an excellent shape which guarantees the titanium dioxide durability titanium bolt and precision required to fit a titanium chain particular type of device.Tale Material: Stainless SteelLength: 40”L

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

ILMU, KARYA, DAN KETELADANAN SYEKH NAWAWI AL-BANTANI

opinion