JALAN TERANG ITU SELALU ADA
Rumah kecilku yang baru ditempati beberapa bulan lalu masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Belum ada dapur, belum ada teras, kanopi, pagar, dan tentu saja perabotan rumah masih sedikit. Maklum saja aku dan istri baru saja pindah dari kontrakan yang paling dekat dengan kampus. Kami kebetulan sama-sama sedang melanjutkan studi Strata 2 yang baru memasuki semester dua. Pertimbangan itupula yang membuat kami menunda untuk segera merenovasi rumah, karena biaya SPP per semester lumayan menguras kantong, apalagi untuk berdua. Pernah tersirat di benakku agar salah satu dari kami cuti terlebih dahulu. Namun orang tua kami melarangnya, biar kami lanjut studi jangan sampai mendunda studi, karena khawatir akan terbengkalai, sehingga tidak selesai. “Kalau untuk masalah biaya SPP kami akan bantu, kami masih mampu.” Di satu sisi kami lega, namun di lain sisi kami malu. Terus terang sejak awal pernikahan, mereka sudah banyak membantu. Entah dari orang tuaku ataupun dari orang tua istriku. Keadaan ekonomi yang membuat kami masih bergantung pada orang tua. Maklum saja, semenjak hamil, aku meminta istri untuk berhenti mengajar. Kami guru, mengajar di tempat yang sama. Rasa trauma yang memutuskan agar aku melarang istriku untuk terus mengajar di tengah kehamilannya. Pernah suatu hari aku panic ketika sedang mengajar di kelas, tiba-tiba istriku menelpon sambil menangis. “Cepat pulang dulu.” Sontak saja aku panik dan langsung keluar kelas. Kami mengajar di sekolah Boarding School – jadi kami difasilitasi rumah, artinya maytoritas guru yang mengajar tinggal di asrama sama seperti para siswanya.
Sekarang, kami tinggal di rumah kecil
ini, sebuah perumahan subsidi, ukurannya kecil, namun cukup untuk berteduh
keluarga kecilku. Usia kehamilan istriku
telah memasuki trimester pertama, dan tidak terasa kami sudah memasuki semester
tiga. “Mulai saat ini kalian harus sudah mulai menyusun tesis, cari judulnya,
pastikan ada kebaruan dari judul tersebut, agar ketika kalian semester empat
sudah tinggal fokus tesis.” Ungkap Pak Abdul sekretaris Prodi.
Sesampainya di rumah, kami berbicang.
Istriku mengatakan bahwa Ia juga sudah diwanti-wanti untuk segera mendapatkan
judul dan mulai menyusun proposal tesis. “Aku juga sama, di kelas, Pak Miftah
pernah bilang supaya semester 3 harus sudah menyusun proposal tesis, kan kalau sudah
masuk semester empat tapi tesis belum beres, pasti berlanjut ke semester lima dan
otomatis bayar SPP lagi.”
Tiba-tiba kepalaku pusing. Jangan
sampai kuliah magister kami lewat dari empat semester. Apalagi kebijakan di
kampusku, jika sudah lewat semester 4 tapi belum selesai, maka biaya SPP di
semester selanjutnya tetap harus dibayar 100%. Kami harus memutar otak
bagaimana proposal bisa selesai di semester tiga ini agar semester empat kami
tinggal melanjutkan penelitian. Tekadpun kami bulatkan, aku dan istriku harus mencapai
target, selesai kuliah tepat waktu karena masih banyak yang harus kami pikirkan
juga.
Jalan memang selalu ada. Singkat
cerita proposal sudah kami selesaikan. Oh iya, aku belum menceritakan tempat
kami kuliah. Aku dan istriku kuliah di kampus yang sama. Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa, Serang-Banten menjadi pilihan kami melanjuktan studi magister,
karena pertimbangannya kampus tersebut yang paling dekat dengan lokasi kerja
dan tempat tinggal. Sebelum menikah dan belum sempat dekat. Istriku yang
dahulunya orang lain, ia melanjukan kuliah mengambil jurusan Akuntansi,
sedangkan aku Ilmu Bahasa. Tidak menyangka, ternyata kami berjodoh, kami
memutuskan menikah setelah menyelesaikan semester pertama. Awalnya kami ingin
menikah nanti saja setelah lulus kuliah, namun kami memiliki visi yang sama
yakni sebuah kebaikan harus disegerakan.
Liburan semester 3 akan selesai. Dan
kami belum memiliki cukup uang untuk membayar SPP. Baru terkumpul setengahnya,
artinya setengah lagi harus kami cari. “A, kita kan masih punya mas kawin, itu
saja kita adaikan.” Ucap istriku. “Ah jangan, nanti sulit lagi untuk mendapatkannya.”
Jawabku. Namun setelah obrolan panjang, akhirnya kami bersepakat untuk
menggadaikan mas kawin tersebut. Ada semacam kekalutan dalam hati, namun harus
bagaimana lagi, kami harus mencari solusi. Tiba di hari pembayaran SPP. Aku ke
bank untuk bayar SPP. Kebetulan lokasi Banknya ada di dalam kampusku. Uang ini
aku bayarkan untuk bayar SPP, rasanya sangat saying sekalin tetapi harus
bagaimana lagi.
Semester 4 pun dimulai. Kami fokus
pada peneltian dan bimbingan tesis. Aku harus menyempatkan waktu sambil
mengajar, harus juga menyelesaikan penelitianku. Sementara istriku memiliki
waktu banyak karena memang ia banyak di rumah. Tidak jarang, sambil di kelas,
pada saat murid-muridku mengerjakan tugas, aku sambil mengetik di laptop untuk
demi menyelesaikan targetku. Ketika jam sekolah berakhir, aku ke basecamp
guru—guru lajang dan tidak tinggal di asrama, sedikit ngobrol-ngobrol untuk
melepas penat, setelah itu ada yang pulang, ada yang istirahat sementara aku
memilih untuk banyak melanjutkan pekerjaan tesisku. Baru setelah salat asar,
aku harus pulang ke rumah kecilku karena ada istri menunggu. Begitu saja
rutinitasku selama beberapa bulan.
Semester 4 akan segera berakhir,
istriku sudah daftar siding tesis, sedankan aku belum selesai. Ada rasa gundah,
bagaimana jika aku tidak bias menyelesaikan tesis dalam waktu dekat ini. Namun
aku harus terlihat tenang depan istriku karena dia akan segera mengahdapi
sidangnya. Di usia kehamilannya yang ke-8 bulan, istriku bersiap untuk
berangkat dari rumah menuju kampus. Seperti biasanya kami ke kampus menggunakan
sepeda motor. Jarak dari rumah ke kampuspun hanya 2 kilometer. Istriku
berdandan sangat bcantik berbalut pakaian dres warna hitam yang sedikit membuat
perutnya tidak begitu besar. Tibalah giliran istriku untuk memasuki ruangan
sidang. Sudah ada lima penguji yang duduk berbaris dengan wajah berbagai
ekspresi. Aku masih ingat, salah satu pengujinya bilang, “Wah sedang hamil ya,
bagaimana dong kalau saya nanti nanya yang berat-berat, nanti bisa melahirkan
di sini.” Ia sambil tertawa dan dibalas dengan teman penguji lainnya, “Tenang,
bumil yang satu ini kuat.” Aku sedikit lega karena aku rasa para penguji ini
baik semua. Di tengah proses sidang, rasa deg-degan tidak juga sirna. Beberapa
kali aku melihat istriku sedikit panic karena mendapat pertanyaan sulit. Namun
aku percaya istriku kuat dan tangguh, dan benar saja tidak terasa hamper satu
jam istriku menjalani sidang tesisinya dan dinyatakan lulus, dengan ada
beberapa catatan dan revisi. Ah, rasanya lega, namun belum sepenuhnya lega,
karena sampai detik itu aku belum memperoleh rekomendasi sidan dari kedua dosen
pembimbingku.
Satu bulan kemudian, akhirnya aku bisa
sidang juga. Aku dan keempat teman kelasku mendapat jadwal di hari yang sama.
Saat itu istriku tidak bisa menemaniku sidang karena dia sedang hamil besar.
Aku bisa melewati masa sidang dengan lancer, walaupun pasti ada beberapa
pertanyaan dari penguji yang sulit untuk aku jawab. Aku merasa lega, karena di
penghujung semester empat aku bisa menyelesaikan sidang, itu artinya aku sudah
bisa mendapatkan surat bebas SPP. Ya, satu persatu permasalahan bisa teratasi.
Saat ini aku tinggal fokus pada
persiapan kelahiran istriku. Terakhir istriku control ke dokter kandungan,
posisi kepala bayiku masih di tengah-tengah, atau bahasa lainnya melintang. Itu
artinya ada kemungkinan proses persalinan istriku harus sesar. Setelah memasuki
36 minggu, akhirnya kami pergi ke dokter yang sama untuk mengetahui kondisi
terkini posisi bayiku. “Pak, bu, bayi ini kepalanya masih di posisi yang sama
yakni masih melintang, dan sekarang sudah memasuk minggu ke-3, sudah waktunya
bapak dan ibu mengambil keputusan agar segera dijadwalkan lahir sesar, karena
dipaksakan normal tidak bisa.” Terus terang waktu itu perasaanku campur aduk,
antara panic dan taku, khawatir akan terjadi apa-apa dengan istri dan calon
bayiku. Namun setelah mendengar penjelasan dari dokter panjang lebar, akhirnya
kami bisa sedikit lega. Menurutnya, proses lahir sesar adalah jalan lahir yang
paling aman untuk posisi kehamilan melintnang. Jangan menunggu sampai perut
mulas, karena akab berakibat fatal. Sebagai calon orang tua baru, tentu saja
kami menyerahkan sepenuhnya pada sang dokter ahlinya. Dan akhirnya kami
memutuskan untuk meminya jadwal sesar di awal bulan juli, dan kebetulan waktu
itu baru saja selsai idulfitri.
Kami bersyukur bertemu dengan dokter
kandungan yang baik hati. Namanya dokter Rahman, sesuai dengan namanya. Kami
diberikan penjelasan begitu detail setiap kontrol kandungan. Dan terakhir kami
diberi saran agar biaya melahirnkan bisa dicover BPJS Kesehatan karena kalau
tidak dicover biayanya bisa sampai puluhan juta. Untungnya kami memang sudah
terdaftar sebagai anggota BPJS bebrapa bulan sebelumnya. Aku yakin ini jalan
dari yang maha kuasa, aku dipertemukan dengan dokter baik hati da nada jalan
untuk biaya persalinan. Terus terang jika harus menanggung biaya sendirim waktu
itu kami belum sanggup. Dengan jalan Tuhan ini, akhirnya biaya persalinan bisa
dicover BPJS sepenuhnya. Aku terharu, aku merasa Tuhan begitu baik pada
keluarga kecilku, selalu dipertemukan dengan orang baik dan selalu dipermudah
jalan menuju persalinan dan lain sebagainya. Dukungan dari keluarga tentu juga
yang terpenting, karena tanpa mereka kami tidak akan bisa sampai di sini.
Perjalanan kami masih panjang. Kini
kami memiliki dua anak laki-laki. Anak pertams sudah berusia empat tahun, dan
satu lagi dua tahun. Anak kedua kami juga sama, proses kelahirannya sesar juga
dan dicover BPJS. Dengan dokter yang sama di rumah sakit yang sama. Sebagai
bentuk terima kasih, aku sematkan nama dokter tersebut untuk anak kedua kami.
Namanya Arif Rahman Zavier.
Proses kelahiran anak kedua kami lebih
berliku. Ia lahir di minggu ke 36, beratnya hanya 2.8 kilogram. Dan waktu itu
selama satu minggu anak kedua kami langsung mendapatkan proses perawatan khusus
bayi, dengan alat selang ultraviolet dan lain sebagainya. Aku sempat meneteskan
air mata kala itu, melihat bayiku harus berada di incubator dengan bantuan
oksigen dan selang ke dalam perutnya, jalan agar air susu tetap bisa masuk. Setiap
pagi dan sore aku selalu mengantarkan ASI untuknya, tentu saja aku titipkan
kepada perawatnya. Setelah mengantarkan ASI, aku sering meminta kepada perawat
untuk melantunkan ayat suci Alquran di samping anakku. Di satu sisi istriku juga
masih belum pulih dari sesar keduanya.
Begitu besar nikmat Tuhan. Kedua
anakku pembawa rezeki. Anak pertama, menjadi spirit kami untuk menyelesaikan
studi, alhasil kami lulus di waktu yang tepat dan tepat pada waktunya. Anak
kedua kami juga pembawa rezeki. Sejak kehamilannya, aku berhasil lulus te CPNS
dosen di salah satu perguruan tinggi di Kota Depok. Istriku pun mengajar di
salah satu kampus swasta di Kota Serang. Ah, rasanya aku ingin bersujud syukur
dengan waktu yang lama. Lika-liku untuk memperoleh buah hati yang amat luar
biasa dan proses mencapai kesuksesan karir, kami lakukan dengan perjuangan dan
doa. Sampai saat ini kami selalu mensyukuri nikmat yang luar biasa ini, dan
mudah-mudahan kami bisa menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak kami, serta
kami bisa terus bermanfaat bagi orang banyak dan dunia pendidikan. [Asep Yana Yusyama]
Komentar
Posting Komentar