Masih Adakah Pembelajaran Sastra di Sekolah?



Sastra; Coba sejenak kita renungkan apa sebenarnya Sastra itu! Puisi, Cerpen, Novel dan Drama saja? Atau mungkin ada yang menganggap bahwa sastra lebih dari yang disebutkan tadi. Mungkin juga ada yang merasa bahwa sastra hanyalah sebuah bacaan untuk hiburan semata di waktu senggang. Atau bahkan ada yang menganggap bahwa sastra merupakan bacaan tidak berbeda dengan teks pada umumnya. Yang jelas beda kepala tantu berbeda pula pemahamannya.
Membaca sastra tentu berbeda dengan membuat karya sastra. Jika membaca berarti masih dalam level mengapresiasi karya-karya sastrawan, baik berupa pusi, cerpen, drama, novel/roman. Kemudian mengkaji, untuk hal yang satu ini pembaca membutuhkan kejelian, kepekaan, tentang menyangkut latar belakang pengarang dalam membuat karya (unsur ekstrinsik). Atau dalam prosa lebih kompleks lagi, ialah harus memahami tentang tokoh dan penokohan, seting, alur cerita, dan tema (unsur Intrisik). Untuk selebihnya dalam mengapresiasi dan mengkaji akan lebih paham jika bacaan karya sastra yang beragam.
Dalam konteks pengetahuan tentang sastra, mungkin awal kita mengenal ketika di bangku sekolah, namun bagaimana jadinya jika dalam proses pembelajaran sastra di sekolah atau konteks khususnya di pesantren bermasalah! Hal tersebut memang dirasakan sejak dulu, namun sampai sekarang belum muncul solusi tepat untuk mengatasinya. Salah satu permaslahan utama ialah minimnya minat siswa dalam membaca karya sastra. Selain itu kemampuan/pengetahuan guru tentang sastra yang terbatas, fasilitas bacaan (buku) sastra yang sedikit, dan pengaplikasian kurikulum yang kurang sistematis. Meminjam statement Maman S. Mahayana yang mengatakan bahwa “Pembelajaran sastra di sekolah selama ini hanya menumpang saja”. Itu artinya pembelajaran sastra tidak menjadi skala prioritas, tidak setara dengan pembelajaran bahasa. Padahal di sekolah dasar maupun menengah, bidang pelajarannya Bahasa dan Sastra Indonesia, bukan Bahasa Indonesia, jadi semsestinya harus seimbang dalam pembelajaran antara Bahasa dan Sastra.
Tidak dipungkiri bahwa banyak guru (Sastra) yang merasa gagal dalam mengajarkan sastra, entah karena kendala terletak pada guru atau siswanya, yang pasti fakta di lapangan membuktikan bahwa setiap sekolah hampir tidak ada yang memprioritaskan bidang sastra sebagai pelajaran yang wajib diperdalam secara mengakar. Sudah disebutkan di awal bahwa permaslahan pembelajaran sastra sangatlah kompleks, sebut saja lagi bahwa banyak pihak guru beranggapan bahwa mempelajari sastra tidak berguna, karena hanya membahas dunia fiksi/imajinasi saja, artinya tidak kongkrit. Kemudian banyak orang tua yang tidak mendukung anaknya menggeluti dunia sastra, dengan dalih memperdalam ilmu sastra tidak sesuai dengan tuntutan kebutuhan hidup kelak. Para orang tua menganggap bahwa saat ini yang di butuhkan ialah seorang anak yang memiliki skill dalam ilmu pasti, teknologi, ekonomi atau perbankan misalnya.
Bukti lain terkait minimnya apresiasi sastra, bisa kita cek di sekolah-sekolah lanjutan atas yang membuka bidang studi IPA, IPS dan Bahasa (jika ada), pasti yang paling tidak diminati adalah Bahasa, hal tersebut dikarenakan stigma yang terbangun bahwa jurusan bahasa (sastra) kurang menjanjikan bagi masa depan, ditambah lagi adanya anggapan bahwa siswa yang masuk dalam bidang jurusan Bahasa dianggap kurang berkompeten, atau bahasa kasarnya adalah “termarginalkan” dibandingkan dengan jurusan lainnya (pinjam istilah Yoseph Yapi Taum dalam artikel “Paradigma Kajian Sastra Dan Masa Depan Kemanusiaan”). Namun perlu di ingat bahwa hal tersebut tidak dirasakan oleh semua pihak, karena masing-masing dari kita berbeda pandang.
Kembali pada konteks pembelajaran sastra di sekolah, tidak sedikit yang melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK), Skripsi, maupun Tesis terkait minat siswa dalam pelajaran sastra. Namun sampai saat ini nampaknya belum ada formulasi jitu guna mengatasi itu semua. Entah karena penelitian yang tidak berkualitas karena mungkin hanya sebagai tugas semata atau mungkinkah hanya salah satu syarat dalam mencapai sebuah gelar maupun prasyarat kenaikan pangkat, yang jelas jika ditanya permasalahan itu menjadi tanggung jawab siapa?
Idealnya, ukuran keberhasilan pembelajaran sastra di sekolah ialah ketika ada ketercapaian tujuan pembelajaran sastra, diantranya mampu mengapresiasi atau membaca karya sastra dari jenis puisi, cerpen novel/roman dan drama, terlebih jika siswa mampu menulis/berkarya dalam jenis sastra. Atau yang lebih idealis lagi siswa mampu mengimplementasikan sastra dalam kehidupan sosial, karena pada dasarnya mempelajari sastra sama juga memperlajari humanis/kemanusiaan. Meminjam pernyataan Taufiq Ismail “Orang yang membaca sastra akan senantiasa bijakasana dalam menghadapi hidup”. Dalam arti bahwa orang yang belajar dari sastra mampu arif/bijak dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan, menilai orang tidak hanya melihat kesalahan, memaklumi kekhilafan. Hidup ini buas, jadi harus dihadapi dengan penuh ketenangan, orang akan terlindas jika tidak memilki kreativitas, begitulah kirannya yang diungkapkan sastrawan Putu wijaya dalam karya noveletnya ”Tak Cukup Sedih”. Karena dalam karya sastra kita mampu belajar sejarah, baik sejarah orang terdahulu dalam berjuang dalam segala hal, dalam menyikapi kehidupan, mengatasi keputusasaan dan lain sebagainya. Semisal dalam Novel buah karya Pramoedya Ananta Toer “Bumi Manusia” yang menceritakan tokoh Minke lelaki Indo Jawa-Belanda yang tekun dan konsisten dalam mencapai cita-citanya study di Belanda. Ia ingin menghilangkan bentuk rasialis antara pribumi dengan Belanda. Ia seorang nasionalis yang senantiasa ingin merubah kondisi tempat tinggalnya yang dianggap feodal. Kita mampu mengetahui kondisi terdahulu dari karya sastra, karena menyajikan bentuk kisah-sejarah dari sebuah karya. Melalui sastra sebuah kejadian dapat dikemas berdasarkan warna tersendiri, sehingga pembaca/pengapresiasi mampu memahami tanpa ada kesan menggurui. Alasan itulah yang dirasa oleh penulis bahwa setiap pelajar harus membaca sastra secara intens.
Jika kita lihat fenomena pelajar saat ini, mayoritas tidak mencerminkan sifat pelajar yakni “Tut Wuri Handayani”. Fakta menunjukan bahwa pelajar saat ini cenderung mengedepankan style, fun, tawuran, sex bebas, narkoba, bunuh diri dan lain sebagainya. Bukan hal yang mudah mengatasi itu semua tanpa adanya keinginan keras dan tulus dari pendidik. Salah satu tugas utama pengajar sastra yakni menanamkan paradigma baru pada siswa bahwa membaca karya sastra bukan sebagai hiburan semata, namun di dalamnya terdapat pelajaran, petuah, dan amanat yang bernilai luhur. Terlebih jika para siswa saling berlomba-lomba dalam prestasi, salah satunya dalam tulis menulis karya sastra. Salah satu caranya ialah mengajak siswa pada kajian-kajian sastra yang mampu menstimulus antusias siswa di luar jam sekolah, mengingat dalam kelas waktunya terbatas. Atau alternatif lainnya yang mampu membangun kepedulian siswa pada sastra. Namun perlu di ingat juga bahwa sebelum mengajak siswa untuk demikian, terlebih dahulu sang guru harus banyak membaca tentang karya sastra atau memilki karya sastra untuk dijadikan media minat siswa.
Bisa kita lihat di lapangan banyak komunitas-komunitas kajian dan kepenulisan sastra baik tingkat lokal maupun nasional yang berhasil dalam mengukir prestasi lewat tulisan dan teater di Sekolah maupun di luar sekolah. Di tingkatan lokal Banten juga banyak yang bermunculan dan telah memberi manfaat pada pelajar. Dengan demikian akan meminimalisir image siswa yang selama ini buruk. Maka dari itu, untuk para guru (Bahasa dan Sastra Indonesia) hendaknya mencoba alternatif demikian, tentunya memerlukan usaha yang mampu menguras pemikiran, tenaga dan kesabaran. Dan untuk calon guru (Sastra) mari kita persiapkan sejak dini memperdalam pengetahuan sastra “literature knowlwdge” serta menggali pengalaman terkait konstruksi organisasi bidang sastra, agar kelak ketika mengajar tinggal memetik buah manisnya.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ILMU, KARYA, DAN KETELADANAN SYEKH NAWAWI AL-BANTANI

opinion